Jakarta, CNBC Indonesia — Daya tarik jengkol ternyata setajam aromanya. Komoditas khas Asia Tenggara ini perlahan tapi pasti merangsek ke pasar global, menembus dapur-dapur diaspora di Jepang hingga Arab Saudi. Produksi dalam negeri pun terus naik, menandai sinyal kuat potensi ekspor yang belum tergarap maksimal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 Indonesia memproduksi 157.157 ton jengkol, naik dari 155.909 ton pada 2022. Provinsi penghasil terbesar datang dari Sumatera Barat (21.295 ton), Jawa Barat (19.763 ton), dan Lampung (18.836 ton) tiga wilayah yang menjadi tulang punggung suplai domestik maupun ekspor.
Namun jalan jengkol menuju pasar ekspor tidak selalu mulus. Pada 2020, ekspor sempat terkendala karena regulasi residu pestisida. Pemerintah merespons dengan memperketat pengawasan kualitas. Upaya ini membuahkan hasil, pada 2021, Sumatera Barat berhasil menembus pasar Jepang, dengan pengiriman perdana 100 kg jengkol yang lolos uji karantina.
Permintaan Diaspora Jadi Tulang Punggung Pasar
Dalam sistem klasifikasi perdagangan internasional, jengkol dikategorikan dalam kode HS 07089000 dan HS 07099990, kelompok sayuran yang dapat dimakan. Permintaan berasal terutama dari komunitas diaspora Indonesia dan Malaysia, yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Malaysia tercatat sebagai pasar utama. Pada 2022, Indonesia mengekspor 723.934 kg jengkol ke Negeri Jiran. Meski sempat stagnan di 2023 (723.709,9 kg), volume ekspor melonjak tajam pada 2024 menjadi 947.710,54 kg, menjadikan Malaysia pasar paling stabil dan bertumbuh.
Pasar Hong Kong dan Jepang juga menunjukkan antusiasme, meski fluktuatif. Ekspor ke Hong Kong naik dari 23.419 kg (2022) menjadi 25.814,9 kg (2023), tapi merosot menjadi 15.835,97 kg pada 2024. Pola serupa terjadi di Jepang: dari 25.441 kg (2022) ke 27.837,9 kg (2023), kemudian turun ke 17.859,97 kg tahun ini.
Singapura mencatat peningkatan dari 95.940,9 kg (2022) menjadi 127.091,13 kg (2023), namun menurun menjadi 99.816,06 kg (2024). Sementara itu, Arab Saudi mengalami penurunan signifikan dari 52.953,75 kg (2022) ke hanya 16.640,97 kg di 2024.
Peluang Besar, Tapi Butuh Perbaikan Kualitas
Pasar ekspor jengkol masih memiliki celah besar, terutama untuk negara-negara yang belum tergarap optimal seperti Amerika Serikat dan Kanada. Potensinya nyata, namun syaratnya jelas, peningkatan kualitas pascapanen dan pemenuhan standar keamanan pangan internasional.
Diperlukan pula dukungan dari sisi hulu akses teknologi bagi petani, pelatihan pengolahan, serta pengawasan mutu yang lebih ketat. Tanpa itu, peluang hanya akan menjadi potensi yang menguap.
Daya pikat jengkol tak hanya karena rasanya yang khas, tapi juga manfaat kesehatan yang kerap disebut mulai dari mendukung sistem pencernaan hingga menjaga kesehatan jantung. Kombinasi ini menjadikannya komoditas yang unik sekaligus menjanjikan di pasar ekspor.
Jika dikelola serius, jengkol bisa naik kelas, dari makanan tradisional penuh stigma, menjadi komoditas ekspor bernilai tambah tinggi, menyusul jejak rempah dan kopi yang lebih dulu mendunia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(emb/emb)