Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Hukum sejatinya bekerja untuk korban, bukan bagi mereka yang sanggup membayar “kepala” oknum polisi.
Keadilan kadang berteriak bukan karena ia tidak ada—melainkan karena ada yang sengaja membekap mulutnya. Itulah kesan paling kuat dari penanganan kasus kematian Ripin alias Achien, 23 tahun, di Deli Serdang: sebuah kematian yang semestinya menjadi perkara terang, tetapi diperlakukan seolah perlu ditutupi kabut misteri.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Enam bulan setelah Ripin ditemukan meninggal dalam kondisi janggal, Polresta Deli Serdang akhirnya menetapkan Juwita—bibinya sendiri—serta anaknya, Kevin, sebagai tersangka pembunuhan berencana. Tetapi pengumuman penting itu tidak disampaikan lewat konferensi pers terbuka, seperti lazimnya penetapan tersangka pada kasus pembunuhan. Tidak ada kamera, tidak ada pernyataan resmi, tidak ada narasi penegasan penegakan hukum. Yang ada hanya pemberitahuan sepatah dua patah kata kepada kuasa hukum keluarga korban. Sunyi. Tertutup. Seolah penetapan tersangka itu sesuatu yang perlu disembunyikan, bukan dipertanggungjawabkan.
Padahal publik masih mengingat begitu antusiasnya aparat menggelar jumpa pers dalam kasus narkoba kecil, curanmor, hingga penangkapan sepasang sejoli di indekos. Tersangka dipamerkan berjajar dengan barang bukti seperti trofi sayembara. Tapi dalam kasus dugaan pembunuhan berencana bermotif klaim asuransi Rp4,5 miliar—negara mendadak gagap bicara.
Kapolresta Deli Serdang Hendria Lesmana tak merespon konfirmasi media lewat telepon dan pesan whatsapp yang dikirimkan sejak 27 Oktober 2025. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Kasat Reskrim Risqi Akbar. Mestinya Kapolresta dan Kasat Reskrim—pejabat publik yang digaji dengan uang rakyat—melayani pertanyaan pers yang mewakili publik sesuai UU Pers No 40/1999.
Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 dan Pasal 14 ditegaskan bahwa Kapolres menjalankan fungsi penegakan hukum, perlindungan, dan pelayanan masyarakat. UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) No. 14 Tahun 2008, Pasal 1 angka 7 menegaskan setiap lembaga penegak hukum adalah “badan publik” dan pemimpinnya adalah pejabat publik yang berkewajiban memberi informasi kepada masyarakat.
Mengapa dalam kasus pembunuhan Ripin kedua pejabat teras di Polresta Deli Serdang ini bungkam? Ada apa dengan Kapolresta dan Kasat Reskrim?
Jawabannya mengarah pada rentetan kejanggalan yang telah tercium sejak awal. Dalam gelar perkara di Polda Sumut pada 17 September 2025, mayoritas penyidik menyatakan Juwita dan Kevin layak ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi Polresta Deli Serdang bersikukuh menunda, meski telah berkali-kali diingatkan. Ketika penetapan akhirnya diumumkan pada 27 Oktober—tepat enam bulan sejak kematian Ripin—Polisi memilih menutup pintu rapat-rapat dari publik. Langkah yang bukan hanya tidak lazim, tetapi mencurigakan.
Fakta historis menunjukkan pola ini bukan hal baru. Pada 2019, di Medan, seorang dosen bernama Tiromsi Sitanggang merencanakan pembunuhan suaminya demi mencairkan asuransi jiwa. Kasus itu baru terungkap karena tekanan keluarga korban yang tak henti bersuara, sementara aparat awalnya bergerak lambat dan gamang. Begitu pula kasus-kasus serupa di Bandung dan Makassar yang akhirnya berproses hukum hanya setelah publik menyorotinya. Pola ini berulang: ketika motif uang begitu menggiurkan, aparat sering kali terlihat ragu, seolah ada bayangan kekuatan lain yang ikut bermain di pinggir meja penyidikan.
Wajar bila warga Deli Serdang bertanya: apakah Kepolisian bekerja dengan hukum sebagai kompas, atau dengan tekanan sebagai komando? Tokoh masyarakat, aktivis, hingga pelaku usaha kecil bersuara keras. Mereka bertanya terang: mengapa Polresta begitu pelit bicara dalam kasus yang menyangkut nyawa rakyat kecil Ripin alias Achien?
Transparansi bukan hadiah yang diberikan polisi kepada rakyat; ia adalah kewajiban yang melekat pada jabatan. Penegak hukum tidak boleh tampak seperti pelindung kepentingan gelap di balik drama pembunuhan “berantai” dan berkedok klaim asuransi ini. Jika benar tidak ada intervensi, buktikan dengan keterbukaan penuh. Gelar konferensi pers. Jelaskan konstruksi perkara. Paparkan bukti. Ungkap semua data yang “disajikan” oleh keluarga korban. Tegaskan bahwa hukum masih bekerja untuk korban, bukan bagi mereka yang sanggup membayar “kepala” oknum polisi.
Kasus Ripin kini menjadi ujian kredibilitas Kepolisian. Bila kebenaran disembunyikan, keadilan hanya akan menjadi kata kosong yang dipajang di spanduk kantor. Kita tidak membutuhkan polisi yang gagah saat memotret tersangka “kelas teri”, tetapi kelu berhadapan dengan kejahatan yang berkelindan uang miliaran rupiah.
Hukum tidak boleh diperdagangkan. Bila ada yang mencoba menjualnya—siapa pun dia, dengan pangkat dan jabatan setinggi apa pun—negara tidak boleh ragu menariknya ke hadapan publik. Jika ada aparat yang memperdagangkan kewajibannya, yang menawar integritas serupa komoditas di pasar gelap pengaruh, maka mereka bukan lagi penegak hukum, melainkan kaki tangan kejahatan itu sendiri. Dan terhadap mereka, tak ada kompromi: harus diusut, ditelanjangi prosesnya, dan diseret ke meja hijau—bersama Juwita dan Kevin yang diduga dilindungi para oknum di balik topeng “mengatasnamakan” hukum.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































