Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia terpantau bergerak bervariasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi ini, Kamis (13/11/2025). Dengan rupiah yang menjadi mata uang di Asia dengan pelemahan terdalam, sedangkan ringgit Malaysia justru tampil impresif dengan penguatan.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 09.20 WIB, Rupiah terpantau melemah 0,24% ke level Ro16.735/US$, menjadikannya mata uang terlemah diantara mata uang Asia lainnya.
Tepat dibawah rupiah, baht Thailand juga mengalami pelemahan yang signifikan dengan melemah 0,22% ke posisi THB 32,367/US$.
Sementara itu, sejumlah mata uang Asia lainnya juga bergerak di zona merah meski dengan pelemahan yang lebih terbatas. Peso Filipina tercatat turun 0,07%, disusul rupee India yang melemah 0,06%. Dolar Taiwan dan dolar Singapura kompak melemah 0,04%. Dong Vietnam turut terkoreksi 0,10% ke VND 26.352/US$.
Di sisi lain, beberapa mata uang justru menunjukkan ketahanan. Ringgit Malaysia menjadi mata uang dengan kinerja terbaik pagi ini setelah terapresiasi 0,07% terhadap dolar AS ke posisi MYR4,130/US$.
Penguatan serupa juga terlihat pada won Korea yang menguat 0,06%, serta yen Jepang yang naik tipis 0,02%. Adapun yuan China relatif stabil tanpa perubahan di level CNY 7,1117/US$, menandakan pasar masih wait-and-see terhadap perkembangan ekonomi Negeri Tirai Bambu.
Sentimen utama yang membayangi mata uang Asia pada perdagangan hari ini masih bertumpu pada dinamika dolar AS di pasar global, seiring meredanya ketidakpastian politik di Washington.
Setelah terombang-ambing selama lebih dari 42 hari, DPR AS akhirnya meloloskan rancangan pendanaan jangka pendek yang akan mengakhiri penutupan pemerintahan atau government shutdown) terpanjang dalam sejarah Negeri Paman Sam. Keputusan ini mendorong penurunan kekhawatiran pasar akan perlambatan ekonomi dan gangguan pelayanan publik yang meluas.
RUU pendanaan tersebut kini menunggu penandatanganan Presiden Donald Trump, yang dijadwalkan dilakukan dalam waktu dekat. Dengan berakhirnya kebuntuan politik ini, pelaku pasar memperkirakan volatilitas dolar AS akan sedikit mereda.
Namun demikian, negosiasi lanjutan soal subsidi Affordable Care Act (ACA) masih berpotensi menimbulkan ketidakpastian baru menjelang akhir tahun, terutama setelah perdebatan panjang antara kubu Republikan dan Demokrat mengenai jaminan kesehatan jutaan warga AS.
Di tengah meredanya tensi politik AS tersebut, pasar global cenderung bergerak hati-hati. Indeks dolar AS (DXY) yang pagi ini bergerak mendatar di kisaran 99,4-99,5 menunjukkan bahwa investor masih menimbang arah kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap perekonomian AS.
Ketidakpastian inilah yang membuat pergerakan mata uang Asia cenderung variatif, dengan sebagian mata uang menguat tipis dan sebagian lainnya tertekan mengikuti ekspektasi perlambatan dolar.
Ekspektasi pemulihan aktivitas pemerintahan AS juga memunculkan spekulasi bahwa rilis data ekonomi Negeri Paman Sam, yang sebelumnya tertunda imbas shutdown, akan kembali dipublikasikan dalam beberapa hari ke depan. Hal ini berpotensi menjadi katalis berikutnya bagi pasar, terutama jika data inflasi, tenaga kerja, atau sentimen konsumen menunjukkan perubahan signifikan. Kondisi tersebut menjadi pertimbangan utama investor dalam memposisikan portofolio mereka di pasar emerging market, termasuk Asia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

2 hours ago
3

















































