Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan global dan domestik bersiap menghadapi salah satu pekan paling krusial di Kuartal IV 2025. Setelah pekan lalu yang relatif tenang, bursa saham, pasar obligasi, dan nilai tukar mata uang akan 'diguncang' oleh tsunami data ekonomi dari tiga raksasa yaitu Amerika Serikat (AS), China, dan Jepang.
Tak hanya itu, dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan merilis dua data penting terkait denyut nadi konsumsi masyarakat.
Pelaku pasar menahan napas menanti satu data utama: angka inflasi AS pada hari Kamis. Data ini akan menjadi penentu tunggal apakah The Federal Reserve (The Fed) sudah 100% selesai dengan kenaikan suku bunganya, atau apakah mimpi buruk 'higher for longer' akan berlanjut.
Sementara itu, 'Jumat Keramat' akan diisi oleh rilis data borongan dari China yang akan menunjukkan potret sejati pemulihan ekonomi sang raksasa Asia: Apakah mesin industrinya benar-benar panas, atau konsumennya masih sakit?
Berikut data krusial yang wajib dipantau investor pekan ini (10-14 November 2025) yang akan menentukan arah IHSG, imbal hasil SBN (Surat Berharga Negara), dan pergerakan Rupiah.
Laporan Survei Konsumen Oktober 2025 (Senin, 10 November)
Pekan ini dibuka dengan data domestik yang sangat vital. Bank Indonesia (BI) akan merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) untuk periode Oktober. Data ini adalah cerminan langsung dari optimisme-atau pesimisme-rumah tangga Indonesia terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi enam bulan ke depan.
Pelaku pasar akan memantau data ini dengan cermat. Pada periode September 2025, IKK tercatat di level 115,0. Meskipun angka ini masih berada di zona optimis (di atas 100), patut dicatat bahwa level tersebut telah turun dari posisi Agustus di 117,2. Tren pelemahan kepercayaan ini menjadi 'lampu kuning'.
IKK adalah leading indicator untuk konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia. Jika IKK Oktober kembali menunjukkan pelemahan-misalnya, turun ke bawah 110-ini akan menjadi sinyal bahaya serius.
Ini akan mengonfirmasi bahwa dampak kumulatif dari inflasi, harga pangan yang tinggi, dan suku bunga acuan BI yang ketat (BI-Rate) telah berhasil 'menghantam' daya beli masyarakat. Pelemahan IKK akan memberikan sentimen negatif bagi emiten di sektor konsumsi (consumer goods), ritel, dan otomotif di IHSG.
Sebaliknya, jika IKK secara mengejutkan rebound (naik kembali), ini akan menjadi katalis positif pembuka pekan, menunjukkan bahwa optimisme masyarakat masih terjaga di awal Kuartal IV.
Laporan Survei Penjualan Eceran September 2025 (Selasa, 11 November)
Hanya sehari berselang, BI akan merilis data hard data untuk mendukung data survei di hari Senin, yaitu Indeks Penjualan Riil (IPR) alias data penjualan eceran untuk periode September 2025. Data ini akan menjadi 'hari penghakiman' bagi narasi kekuatan konsumsi domestik.
Pada rilis bulan lalu, BI memprakirakan (forecast) penjualan eceran September akan tumbuh solid sebesar 5,8% secara tahunan (YoY). Ini adalah ekspektasi yang sangat tinggi, melompat jauh dari realisasi pertumbuhan Agustus yang 'hanya' 3,5% YoY.
Data ini adalah konfirmasi. Jika realisasi IPR pada hari Selasa sesuai atau bahkan melampaui ekspektasi BI (5,8% YoY), pasar akan berpesta. Ini akan membuktikan bahwa pelemahan IKK di bulan September tidak serta merta memukul penjualan riil di lapangan. Pertumbuhan ritel yang kuat akan menjadi modal krusial untuk menopang target pertumbuhan ekonomi 5% di Kuartal IV.
Namun, jika realisasinya meleset jauh dari ekspektasi-misalnya, tumbuh di bawah 4%-ini akan menjadi double blow setelah potensi pelemahan IKK. Pasar akan membaca ini sebagai sinyal bahwa BI 'terlalu optimis' dan daya beli masyarakat memang sedang tertekan. BI akan berada dalam posisi sulit: di satu sisi harus menjaga Rupiah, di sisi lain konsumsi domestik mulai 'batuk'.
US Inflation Rate / Inflasi AS YoY (Kamis, 13 November)
Inilah 'Raja' dari semua data pekan ini. Pasar global akan berhenti berdetak sesaat menanti rilis data Consumer Price Index (CPI) AS untuk periode Oktober pada hari Kamis malam. Data ini adalah penentu nasib The Fed, Dolar AS, Rupiah, IHSG, SBN, harga emas, hingga Bitcoin.
Pada periode September, pasar bersorak karena inflasi AS mendingin lebih cepat dari perkiraan, dengan inflasi inti (Core CPI) melandai ke 3,0% YoY dan inflasi utama (Headline CPI) juga di 3,0% YoY. Konsensus pasar saat ini memperkirakan angka Oktober akan stabil di 3,0% (Headline) dan 3,0% (Core).
Terdapat dua skenario besar yang akan menentukan nasib pasar:
-
Skenario 'Goldilocks' (Data Sesuai/Lebih Dingin): Jika CPI Oktober rilis di 3,0% atau, lebih baik lagi, 2,9% (terutama pada sisi Core), pasar akan merayakan 'kemenangan'. Ini akan mengunci 100% narasi bahwa The Fed telah selesai menaikkan suku bunga. Ketua Fed Jerome Powell akan mendapat konfirmasi untuk 'pivot' menjadi dovish. Imbasnya: Dolar AS (Indeks DXY) akan tumbang, imbal hasil US Treasury akan anjlok, dan sentimen risk-on akan meledak. Aset berisiko seperti saham (IHSG), mata uang emerging market (Rupiah), dan komoditas (emas) akan terbang.
-
Skenario 'Mimpi Buruk' (Data Lebih Panas): Jika ada kejutan kenaikan-misalnya, inflasi inti kembali naik ke 3,1% atau 3,2% YoY-ini adalah bencana. Ini akan membunuh narasi 'pivot' The Fed. Pasar akan kembali panik memprediksi kenaikan suku bunga lanjutan di Desember. Imbasnya: Dolar AS akan meroket, yield Treasury akan melompat, dan Rupiah akan tertekan hebat kembali ke level psikologis 16.500-17.000. IHSG dan pasar SBN akan 'longsor'.
China Industrial Production YoY (Jumat, 14 November)
Memasuki hari terakhir pekan, 'Jumat Keramat' akan diisi oleh rilis data borongan dari China, yang pertama adalah Produksi Industri (Industrial Production) untuk Oktober.
Data ini mencerminkan kesehatan sektor manufaktur dan pabrik di China. Pada periode September, data ini tampil sangat kuat di 6,5% YoY, jauh melampaui konsensus 5,0%. Namun, konsensus pasar untuk Oktober memperkirakan adanya moderasi atau perlambatan ke level 5,6% YoY.
Produksi Industri adalah potret sisi supply (penawaran) dari ekonomi China. Data yang kuat di September menunjukkan bahwa stimulus yang digelontorkan Beijing ke sektor manufaktur mulai berjalan. Bagi Indonesia, data ini sangat vital.
Jika Produksi Industri Oktober berhasil mengalahkan ekspektasi (misalnya, tetap di atas 6,0%), ini adalah kabar baik. Ini berarti permintaan dari pabrik-pabrik China terhadap bahan baku mentah akan tetap kencang. Ini adalah katalis positif langsung bagi emiten-emiten komoditas andalan Indonesia di IHSG, seperti batu bara, nikel, dan logam dasar lainnya. Namun, jika data ini meleset dari perkiraan, harga komoditas berisiko terkoreksi.
China Retail Sales YoY (Jumat, 14 November)
Data kedua dari China adalah Penjualan Ritel (Retail Sales), yang akan dirilis bersamaan. Ini adalah kebalikan dari Produksi Industri; data ini mengukur sisi demand (permintaan) alias konsumsi domestik masyarakat China.
Di sinilah letak masalahnya. Sementara produksi industrinya kuat, penjualan ritel September tumbuh sangat loyo di 3,0% YoY, menandai pertumbuhan terlemah sejak November 2024. Ini menunjukkan konsumen China masih 'takut' belanja dan lebih memilih menabung.
Inilah 'penyakit' utama ekonomi China saat ini yaitu ketidakseimbangan antara supply yang kuat dan demand yang lemah. Pelaku pasar akan mengamati apakah konsumen China mulai 'bangun' di bulan Oktober.
Jika penjualan ritel tetap lemah (misalnya, tumbuh di 3,0% atau lebih rendah), ini mengonfirmasi bahwa pemulihan ekonomi China 'pincang'. Pabrik memproduksi banyak barang, tapi tidak ada yang membeli.
Ini adalah sinyal deflasi yang buruk bagi ekonomi global dan juga bagi Indonesia, terutama untuk ekspor barang jadi seperti CPO (minyak sawit) dan produk turunannya. Pemulihan ekonomi China yang sehat membutuhkan konsumennya untuk kembali berbelanja.
-
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)

2 hours ago
2
















































