Pintu Tol Sibanceh Harapan Di Bawah Bayang Gunung Seulawah

3 hours ago 4

Pagi baru saja menetes di Padang Tijie, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Embun menggantung di pucuk ilalang, menyalakan kilau kecil di antara hamparan padi yang menunduk.

Dari kejauhan, Gunung Seulawah Agam berdiri gagah, punggungnya diselimuti kabut, seperti penjaga tua yang mengawasi tanah Aceh dengan mata teduh.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Udara masih dingin, sejuk, dan sunyi. Tetapi di tepi jalan lintas Medan-Binjai Banda Aceh ( Jalan Negara-red), kehidupan perlahan menggeliat. Deru mesin bus PO.PMTOH terdengar pelan, seperti tarikan napas panjang yang bersiap menempuh perjalanan dua jam menuju Banda Aceh.

Sopirnya, Rahmadi, 30, duduk di kursi pengemudi sambil menyeruput kopi hitam dari gelas kaca. Asap tipis mengepul, berbaur dengan kabut pagi.

“Kalau pintu tol di Padang Tijie sudah dibuka, mungkin aku tidak perlu berangkat sepagi ini,” ujarnya sambil tersenyum kecil. Lewat tol, paling cuma satu jam sampai Banda Aceh. Sekarang, ya… dua jam lebih dikit, kadang lebih kalau macet di Lambaro,” katanya.

Bagi Rahmadi, waktu bukan sekadar angka di arloji. Ia adalah jarak antara rumah dan rezeki, antara anaknya yang masih tidur di balik kelambu dan kota yang menunggu di ujung jalan. Setiap menit yang dihemat di jalan, adalah menit tambahan untuk hidup.

Menunggu Gerbang yang Belum Terbuka

Beberapa ratus meter dari warung kopi tempat Rahmadi biasa singgah, berdiri megah sebuah gerbang beton dengan tulisan besar. Gerbang Tol Padang Tijie. Cat putihnya masih bersih, garis-garis jalurnya masih sempurna. Tetapi tidak satu pun kendaraan melintas. Gerbang itu seolah tidur, menunggu sesuatu yang belum pasti.

“Sudah lama kami dengar kabar pintu ini mau dibuka,” kata Hendra, 35, sopir truk pengangkut sayur. Ia baru saja tiba dari pasar di Beureunuen, truknya masih basah oleh embun pagi. “Kalau lewat tol, sayur bisa sampai Banda Aceh lebih segar. Tetapi kalau lewat jalan biasa, dua jam lebih di jalan, kadang kena panas, kadang hujan. Bisa rusak di perjalanan,” ceritanya.

Hendra menatap ke arah gerbang tol itu, lama. “Sayang, semuanya sudah siap. Tetapi pintunya belum dibuka. Seperti harapan yang berhenti di depan mata,” tuturnya lirih.

Tol yang Menyambung Harapan

Tol Sigli–Banda Aceh, (Sibanceh), bukan sekadar jalur aspal membentang. Ia adalah bagian dari nadi besar Trans Sumatera, proyek strategis nasional dengan nilai investasi lebih dari Rp12 triliun, dibangun oleh PT Hutama Karya bersama PT Adhi Karya.

Di atas peta, ruas Padang Tijie –Seulimeum sepanjang 25 kilometer tampak seperti garis lurus sederhana. Tapi bagi warga di bawah Gunung Seulawah, garis itu adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan.

Sebelum ada tol, perjalanan dari Sigli ke Banda Aceh bisa memakan waktu 2–3 jam. Jalannya berliku, menembus pasar, menuruni lembah yang curam, melintasi pemukiman padat. Kini, sebagian ruas tol sudah bisa digunakan, memangkas waktu perjalanan menjadi sekitar satu jam saja.

Namun tanpa pintu keluar di Padang Tijie, manfaat itu belum sepenuhnya terasa. Banyak warga masih harus memutar jauh ke pintu terdekat di Seulimeum. Jarak yang semestinya dekat, terasa jauh karena satu gerbang yang belum dibuka.

Kehidupan di Bawah Seulawah

Di sela percakapan dengan para sopir, terdengar suara azan Subuh dari meunasah kecil di pinggir sawah. Suaranya melayang lembut di antara kabut yang mulai menipis. Burung-burung bangun dari ranting, dan aroma tanah basah setelah embun semalam memenuhi udara.

Padang Tijie, dalam kesehariannya, bukanlah kota besar dengan hiruk pikuk lampu dan beton. Ia adalah perhentian yang tenang, tempat di mana waktu berjalan pelan, dan setiap kabar pembangunan dibicarakan di warung kopi. Di sini, berita tentang tol bukan sekadar proyek pemerintah, ia menjadi bagian dari percakapan pagi, seperti membicarakan cuaca atau hasil panen.

“Banyak orang Pidie kerja di Banda Aceh,” kata Siti Aminah, penjual nasi gurih di pasar kecil. “Kalau pintu tol dibuka, mereka bisa pulang lebih cepat. Bisa makan malam sama keluarga. Kami pun bisa kirim dagangan ke sana lebih mudah.”kata Aminah.

Ia menata piring-piring di lapak kecilnya, tangan cekatan, matanya berbinar. “Tetapi ya itu… kami masih menunggu,” katanya

Antara Janji Dan Waktu

Pembangunan seringkali datang dengan janji besar. Tentang kemajuan, konektivitas, pertumbuhan ekonomi, efisiensi waktu. Tetapi di Padang Tijie, janji itu berubah menjadi kesabaran yang panjang. Gerbang tol yang megah menjadi simbol dari paradoks pembangunan hadir, tetapi belum bisa disentuh.

Pemerintah pusat menyebut tol ini bagian dari Proyek Strategis Nasional. Tetapi bagi warga, yang mereka pahami sederhana saja, mereka ingin jalan itu terbuka, agar hidup lebih mudah. Mereka ingin waktu mereka kembali, agar pagi di bawah kaki Seulawah tidak lagi dihabiskan di jalan berliku.

Pagi yang Baru

Matahari mulai naik di balik punggung Ginung Seulawah. Cahaya kuning keemasan membias di permukaan sawah, menciptakan bayangan panjang di atas aspal. Rahmadi menghidupkan mesin busnya. Deru mesin berpadu dengan suara ayam jantan dan anak-anak sekolah yang berlari di tepi jalan.

“Entah kapan pintu itu dibuka,” katanya sambil melambaikan tangan ke arah gerbang tol yang masih tertutup. “Tetapi setiap kali lewat sini, aku tetap berharap,” tuturnya lembut.

Busnya perlahan melaju, menembus jalan berliku menuju Utara. Di belakangnya, Gunung Seulawah berdiri tenang, seolah ikut menunggu bersama warga Padang Tijie, bersama pagi yang terus berganti.

Karena pada akhirnya, di setiap pembangunan, selalu ada sekelompok orang yang menunggu, bukan hanya dibukanya pintu tol, tetapi terbukanya jalan menuju kehidupan yang lebih layak,
lebih dekat, lebih manusiawi.

Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |