Saat Swasembada Tapi Harga Beras Bikin Ngelus Dada

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketimpangan harga beras antar wilayah di Tanah Air masih menjadi masalah di tengah upaya pemerintah mendorong swasembada pangan. Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI menemukan bahwa ketimpangan harga beras ini ternyata semakin melebar.

Peneliti LPEM FEB UI Rizki Nauli Siregar mengungkapkan tiga penyebab utama dari masalah ini. Pertama, pemberlakuan pembatasan impor beras setelah sebelumnya pada 1999 rezim perdagangan terbuka.

Ada tiga implikasi yang terlihat dari penerapan pembatasan impor beras. Pertama, jumlah impor beras yang tidak setinggi sebelum 2004. Menurut catatan CNBC Indonesia, impor beras tertinggi di era BJ Habibie, yakni impor 3 juta ton untuk menghadapi krisis saat itu. Kedua adalah harga beras Indonesia terlepas dari tren harga beras dunia dan ketiga adalah melebarnya jarak harga beras antar wilayah.

Pelebaran diferensiasi harga beras antar wilayah menjadi satu masalah yang dapat mengganggu ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Perbedaan itu makin lebar sejak era pembatasan impor dan berpotensi semakin melebar ke depan.

"Di masa sebelum pembatasan impor terdapat perbedaan harga antar wilayah di Indonesia relatif kecil dibandingkan di tahun-tahun setelah 2004. Hal ini merefleksikan seperti minimnya perdagangan antardaerah (arbitrase) di era saat ini," tulis Rizki Nauli seperti dikutip pada Rabu (29/10/2025).

Sementara itu, faktor biaya logistik dan transportasi di sektor beras yang tinggi juga berpotensi mengerek harga beras nasional.

Biaya logistik sendiri menyumbang 28-40% dari margin perdagangan di sektor beras yang berpotensi membuat harga beras antar wilayah berbeda dan tinggi. Biaya transportasi sendiri adalah biaya paling besar dari biaya logistik.

"Biaya transportasi merupakan porsi terbesar dalam biaya logistik, dengan sekitar 85% dari total biaya logistik bagi produsen dan 91% dari total biaya logistik bagi pedagang," jelasnya.

Masalah lain yang dilihat Rizki adalah perubahan penggunaan lahan yang masif. Rizki mencatat selama satu dekade terakhir, luas panen turun dari 13 juta hektar pada tahun 2010 menjadi 10,6 juta hektar pada tahun 2020.

Ada tren para pedagang akan mencari panen dari daerah lain karena terbatasnya lahan. Sehingga berdampak pada tambahan biaya transportasi dan logistik pada margin mereka.

"Terdapat pandangan-pandangan anekdotal tentang apa yang menentukan perubahan penggunaan lahan, seperti rendahnya hasil dari pertanian beras, tetapi belum ada tindakan kebijakan yang inklusif untuk mengakui dan mengatasi tantangan nyata yang dihadapi oleh para petani serta memberikan solusi yang efektif pada petani," ucap Rizki.

Solusi Atasi Ketimpangan Harga Beras

Oleh karena itu, Rizki menawarkan tiga solusi dalam mengatasi tiga masalah utama dalam sektor beras tersebut.

"Pertama, kita harus terus mempertahankan tujuan utama yaitu ketahanan pangan dengan turut memasukkan solusi-solusi lokal. Kedua, kita harus melakukan evaluasi yang cermat terhadap rantai nilai beras untuk memahami distorsi atau hambatan dalam setiap mata rantai nilai tambah dan membangun solusi berdasarkan distorsi dan hambatan ini. Ketiga, kita harus mendorong transisi ke produksi beras rendah karbon dan tahan iklim dalam skala yang lebih besar." ucapnya.

Rizki mengelaborasi rekomendasi kebijakan keamanan pangan dengan solusi lokal seperti dengan mendorong diversifikasi pangan berdasarkan sumber daya lokal.

"Ini tidak hanya dapat melonggarkan keterbatasan pasokan di daerah dengan produksi beras rendah, tetapi juga lebih berkelanjutan secara lingkungan karena produk pangan lokal menjadi lebih diutamakan," ujarnya.

Rekomendasi kebijakan kedua adalah mengkaji secara komprehensif rantai nilai beras.

"Hingga saat ini, upaya ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun kita telah melihat kemajuan besar dalam peningkatan infrastruktur dalam berbagai bentuk mulai dari jalan hingga pelabuhan, telekomunikasi hingga ekosistem digital, studi menemukan bahwa biaya perdagangan masih memainkan peran besar dalam memperlebar kesenjangan antara harga petani dan harga eceran," katanya.

Rizki merekomendasi menggunakan harga sebagai indikator utama yang mewakili kondisi pasar beras.

"Harga juga lebih mudah didapatkan sehingga kita dapat mendapatkan sinyal yang tepat waktu, misalnya jika ada kelangkaan di beberapa wilayah," ucapnya.

Selain itu, Rizki melihat bahwa perlunya ada bauran kebijakan yang dapat mengatasi distorsi dalam sektor beras. tidak menggunakan proteksi perdagangan sebagai kebijakan 'second-best'.

"Kita harus mempertimbangkan bahwa membuka perdagangan tanpa tindakan penyesuaian bukanlah pilihan yang optimal karena para petani sebagian besar berskala kecil dan oleh karena itu tidak akan mendapatkan manfaat dari economies of scale ketika perdagangan terbuka," tulis Rizki.

"Kita pun perlu memperbaiki mekanisme stabilisasi harga, yang memberikan fleksibilitas dalam menggunakan berbagai alat penyesuaian harga namun tidak rentan terhadap korupsi," sambungnya.

Sementara kebijakan ketiga adalah mendorong transisi ke produksi beras rendahkarbon dan tahan iklim dalam skala besar.

"Kita perlu mencari cara untuk meningkatkan produktivitas dengan turut menjaga kesehatan tanah dan mengurangi polusi air menjadi sangat minimal. Dengan cara ini, kita dapat secara berkelanjutan meningkatkan produktivitas sambil meningkatkan pendapatan petani dan menjaga ketahanan pangan konsumen," tulis Rizki.

Ia menjelaskan salah satu contoh adalah Vietnam yang telah memulai transformasi dengan malukan uji coba beras rendah karbon.

"Transformasi ini memerlukan perubahan pada banyak aspek dari mulai dari penanaman bibit hingga irigasi, serta penggunaan pupuk hingga tindakan pasca panen."


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Amran Sebut RI Bisa Jadi Lumbung Pangan Dunia, Tandanya Sudah Terlihat

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |