Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ironisnya, untuk mengolah sumber daya sebesar itu, kita masih bergantung pada teknologi asing. Dalam daftar pengembang proyek nasional pengolahan sampah menjadi energi, lebih dari separuh berasal dari luar negeri, dan sekitar 15 di antaranya dari China.
Ini menggambarkan bukan kekurangan kemampuan, tetapi kurangnya keberanian untuk percaya pada kemampuan bangsa sendiri. Selama ini, pendekatan utama pemerintah adalah Waste to Energy (WtE) berbasis listrik, membakar sampah, menghasilkan uap, lalu dikonversi ke listrik. Namun proses itu boros energi dan mahal infrastrukturnya.
Alih-alih mengubah panas menjadi listrik, Waste to Steam langsung memanfaatkan energi panas hasil pembakaran untuk menghasilkan uap industri (steam). Uap ini bisa langsung disalurkan ke pabrik baja, pupuk, kertas, atau kimia, menggantikan boiler berbahan bakar gas dan batu bara. Efisiensi termalnya mencapai 60%-70%, dua kali lipat dari WtE listrik.
Satu instalasi WtS dengan kapasitas 1.000 ton sampah per hari mampu menghasilkan 55 ton steam per jam, dengan potensi penghematan bahan bakar mencapai USD 8-10 juta per tahun. Teknologinya lebih sederhana, lebih cepat dibangun, dan cocok untuk kawasan industri seperti Cilegon, Karawang, atau Gresik.
Pabrik-pabrik dalam negeri seperti PAL, Krakatau Engineering, dan Pindad mampu membuat boiler, pressure vessel, dan sistem perpipaan bertekanan tinggi. Lembaga riset dan perguruan tinggi (ITB, ITS, BRIN) sudah meneliti sistem pembakaran sampah dan pengendalian emisi.
Yang dibutuhkan bukan lisensi asing, tetapi arah kebijakan nasional yang menempatkan WtS sebagai program kemandirian energi berbasis sampah. Pemerintah cukup menetapkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 60%, memberi ruang konsorsium BUMN dan swasta untuk berkolaborasi, dan mendorong industri off-taker lokal membeli steam-nya.
Ketergantungan pada teknologi impor bukan sekadar soal bisnis, tapi soal kedaulatan teknologi. Negara sebesar Indonesia tidak seharusnya menunggu negara lain membakar sampahnya. Kita harus mampu membangun sendiri, bukan sekadar membeli solusi, tapi menciptakannya.
Kalau kita terus mengimpor teknologi untuk membakar sampah, maka yang terbakar bukan hanya plastik, tapi juga harga diri bangsa. Indonesia tidak kekurangan teknologi, hanya kekurangan keberanian untuk percaya pada diri sendiri. Sampah bukan masalah, tapi bahan bakar kemandirian.

5 hours ago
3

















































