BADUNG (Waspada.id): Sekolah kerap tertinggal selangkah dari perubahan. Di Badung, Kamis (23/10/2025), Sekolah Cendekia Harapan (CH) memilih jalan berbeda: menantang status quo.
Talk show bertajuk The Global Skills Gap 2025: Preparing Children for Jobs that Still Don’t Exist menghadirkan Alamanda Shantika, pendiri BINAR Academy dan mantan VP Gojek, yang mengirim pesan terang.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
“Sekolah tak boleh sekadar menjadi pengikut teknologi. Dunia berubah terlalu cepat, dan pendidikan harus lebih berani melompat,” ujarnya.
Langkah CH ini menurutnya bukan seremoni tanpa isi. Era agentic AI, bukan sekadar generative AI yang menjawab pertanyaan atau menuntut mesin yang bertindak mulai dari mengirim e-mail, membalas pesan, menyelesaikan kerja rutin. Lebih dari itu, hal itu semua adalah rekan kerja digital, bukan alat bantu belaka.
“Pendidikan yang lamban beradaptasi, kata Alamanda, akan menukar masa depan anak dengan nostalgia kurikulum;” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal mindset kesetaraan di industri teknologi. Menurutnya, bakat itu bersifat netral dan tanpa bias gender.
“Yang membedakan adalah kapabilitas dan semangat belajar,” tutur Alamanda.
Menurutnya, kompetensi nyata dan kelincahan belajar harus menjadi inti pendidikan masa depan.
“Anak-anak perlu dibimbing menjadi pembelajar sepanjang hayat, bukan penghafal yang cepat usang,” tegasnya.
Di sisi lain, komitmen Yayasan CH kini diuji. Dr. Lidia Sandra, S.Psi., S.Kom., M.Psi., M.Comp.Eng.Sc., Psikolog, menegaskan langkah konkret lembaganya dalam transformasi digital.
“Kami sedang menerapkan AI agent bagi seluruh SDM dan menyiapkan sertifikasi profesional untuk pendidik bekerja sama dengan BINAR Academy,” ujarnya.
Lidia menambahkan, program ini bukan sekadar jargon. CH ingin memastikan hasilnya terukur. Mulai dari jumlah guru tersertifikasi, sistem belajar berbasis data, hingga layanan sekolah yang lebih cepat dan akurat.
“Kalau tidak ada indikator yang jelas, klaim pionir AI hanya akan menjadi slogan penarik spanduk,” ujarnya.
Kolaborasi CH dan BINAR, lanjutnya, diarahkan agar berujung pada kurikulum berbasis proyek, magang bermakna, dan portofolio kompetensi.
“Kami ingin murid bisa mempraktikkan agentic AI untuk memecahkan masalah nyata, bukan hanya teori di kelas,” jelas Lidia.
Menurutnya, kelas masa kini harus terkoneksi dengan industri. Sekolah tidak boleh jadi menara gading.
“Dunia kerja menuntut siswa yang siap, bukan hanya pintar di atas kertas,” tegasnya.
CH juga membuka diri terhadap akuntabilitas publik.
“Kalau kami mengklaim pelopor sekolah berbasis AI di Bali, bahkan di Indonesia, maka kami siap membuka data yakni tingkat kelulusan sertifikasi, jumlah AI agent yang dipakai harian, hingga efisiensi operasional,” tutur Lidia.
“Transparansi adalah mata uang reputasi kami,” sambungnya.
Ia pun mengingatkan para orang tua untuk meninggalkan obsesi pada angka ujian.
“Masa depan menilai kinerja, bukan sekadar nilai. Keberanian bereksperimen, nalar kritis, dan empati adalah bekal bekerja berdampingan dengan mesin tanpa kehilangan kemanusiaan,” katanya.
Pada akhirnya, CH mengambil posisi jelas dengan tidak menunggu perubahan, melainkan merumuskan arah.
“Bila janji AI agent untuk seluruh warga sekolah dan sertifikasi pendidik diwujudkan konsisten, CH bukan hanya membicarakan masa depan, tetapi mengerjakannya,” pungkas Lidia.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































