Chatib Basri Blak-blakan Soal Penyebab RI Deindustrialisasi Dini

7 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri buka-bukaan penyebab Indonesia telah mengalami masa deindustrialisasi dini. Deindustrialisasi dini biasanya tergambar dari makin minimnya porsi kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB).

Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), distribusi industri pengolahan atau manufaktur sebetulnya masih merosot terhadap PDB baru-baru ini.

Pada 2014, misalnya, distribusi industri pengolahan terhadap PDB angkanya masih 21,02%. Namun, pada 2019 tersisa 19,7%, dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67%. Namun, pada 2024 sedikit naik menjadi 19,13%.

"Ada beberapa alasan mengenai kita mengalami yang disebut sebagai premature deindustrialization," kata Chatib saat memberikan Kuliah Umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), dikutip Kamis (15/5/2025).

Chatib mengatakan, penyebab pertama deindustrialisasi dini terjadi ialah karena Indonesia sempat terjangkit penyakit dutch disease ringan. Penyakit Belanda ini terjadi ketika sebuah negara melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya alamnya secara mentahan.

"Itu di dalam tahun 2000 sampai dengan 2011 kita itu mengalami yang namanya mild dutch disease, mild dutch disease kenapa, karena ada commodity boom," tegasnya.

Saat kondisi itu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan atau apresiasi hebat, sesuai dengan ciri-ciri dutch disease saat melanda suatu negara.

Akibatnya, Chatib mengatakan, kinerja ekspor industri manufaktur otomatis loyo karena tipe industri ini bukan sebagai pembuat harga atau price maker, sebagaimana industri ekstraktif. Industri manufaktur kata Chatib biasanya hanya bisa berperan sebagai price taker.

Apalagi, biaya ekonomi di Indonesia terbilang sangat tinggi, atau biasa disebut sebagai high cost economy. Maka, ketika harus bersaing di pasar terbuka yang sangat kompetitif, perusahaan harus mereduksi seminimal mungkin margin keuntungannya supaya barang produksinya bisa diserap pasar.

"Tetapi di dalam natural resources industry, anda punya monopoly power, kayak nikel. Kalau ada high cost economy, anda bisa pass on kepada produsen akibatnya profit marginnya anda bisa maintain relatif tinggi," ucap Chatib.

"Sedangkan di manufacturing kecil, maka akan ada shift investment. Jadi premature deindustrializationnya," tegasnya.

Meski demikian, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita membantah bahwa Indonesia tidak sedang mengalami deindustrialisasi.

Ia mengacu pada sejumlah lembaga, baik dalam maupun luar negeri, yang menyebut industri manufaktur masih jadi prime mover atau penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan data World Bank dan United Nations Statistics, Agus mengatakan, nilai Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia pada 2023 menembus angka US$255,96 miliar. Capaian itu disebut sebagai yang tertinggi pernah diraih Indonesia.

"Dari dua faktor saja, yakni Manufacturing Value Added (MVA) dan share terhadap PDB, belum berbicara mengenai kinerja capaian investasi dan ekspor, serta penyerapan tenaga kerja manufaktur, itu dengan sangat mudah bisa dipatahkan bahwa Indonesia tidak dalam fase deindustrialisasi," katanya dalam keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).

Nilai Manufacturing Value Added (MVA) tersebut menempatkan Indonesia dalam 12 besar negara manufaktur dunia, serta yang terbesar kelima di Asia. Indonesia ada di bawah China, Jepang, India, dan Korea Selatan.

"Di ASEAN, nilai MVA Indonesia tentunya menjadi yang tertinggi, jauh melampaui nilai MVA negara-negara ASEAN, termasuk Thailand dan Vietnam. Rata-rata MVA dunia adalah US$78,73 miliar, sementara Indonesia mencatatkan rerata historis sebesar US$102,85 miliar. Pencapaian ini mencerminkan struktur industri manufaktur nasional yang kuat dari hulu ke hilir," ujarnya.

"Tren MVA Indonesia terus meningkat sejak tahun 2019, kecuali saat masa pandemi Covid-19. Dengan meningkatnya MVA ini, Indonesia setara dengan beberapa negara industri maju seperti Inggris, Rusia, dan Prancis," tutur Agus.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Ekonomi RI Lesu di Kuartal I, Diramal Hanya Tumbuh 4,9%

Next Article DEN Tekankan Industrialisasi Harusnya Didorong Sampai ke Hilir

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |