Dear BI, Ekonomi Indonesia Lagi Butuh Obat Kuat!

10 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) diselenggarakan pada Selasa dan Rabu pekan ini (22-23 April 2025). Salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) di tengah ketidakpastian global saat ini.

Sebelumnya, BI rate ditahan pada April 2025 di level 5,75%. Hal ini sesuai dengan proyeksi dari berbagai lembaga/institusi.

Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 20 lembaga/institusi secara labil memberikan proyeksi bahwa 50% BI akan menahan suku bunganya di level 5,75%. Sedangkan sisanya atau sebanyak 10 institusi memperkirakan bahwa BI akan menurunkan suku bunganya ke 5,50%.

Bulan lalu, Dewan Gubernur BI kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 5,75%. Ini merupakan ketiga kalinya BI menahan suku bunganya di tahun ini meskipun mengakui adanya potensi perlambatan ekonomi Indonesia untuk tahun ini.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 April 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,75%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo saat mengumumkan hasil RDG, Rabu (23/4/2025).

Perry menegaskan, keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga prakiraan inflasi 2025 dan 2026 tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%, mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental di tengah makin meningkatnya ketidakpastian global, serta untuk turut mendukung pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penguatan yakni secara month to date (mtd) hingga 19 Mei 2025 menguat 0,94% ke posisi Rp16.400/US$.

Kepala ekonom Bank Maybank Indonesia, Juniman, mengatakan perkiraannya bahwa BI akan menurunkan suku bunga di bulan ini karena rupiah yang relatif terjaga dan cenderung menguat.

Selain itu, pelonggaran suku bunga diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi domestik yang saat ini mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,02% (yoy) pada kuartal IV 2024 menjadi 4,87% pada kuartal I 2025.

"Di sisi lain, langkah penurunan suku bunga ini juga sejalan dengan tekanan inflasi yang masih tergolong rendah. Inflasi Indonesia tercatat hanya sebesar 1,95% (yoy) pada April 2025, mencerminkan ruang yang cukup bagi Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter guna mendorong aktivitas ekonomi tanpa menimbulkan risiko tekanan harga yang berlebihan," ujar Juniman.

Senada dengan Juniman, Kepala ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan selain faktor internal (rupiah menguat, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta inflasi yang tetap terkendali), faktor eksternal yang membaik juga mendorong BI berpeluang menurunkan suku bunganya.

"Termasuk pelonggaran ketegangan perdagangan AS-China dan potensi penurunan suku bunga The Fed, mendorong sentimen positif di pasar keuangan global. Hal ini turut mendorong aliran modal asing masuk ke pasar Indonesia, tercermin dari penguatan nilai tukar rupiah sebesar 0,98% mtd per 16 Mei 2025," kata Josua.

Optimisme ini juga diungkapkan oleh Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray, menyampaikan kondisi rupiah yang menguat sehingga tidak ada alasan BI melihat rupiah tertekan.

"Jadi stance saya melihat situasi ini tepat untuk BI menurunkan sukubunga25bps," pangkas Birger.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan yang menyebut bahwa kondisi internal mendukung untuk BI menurunkan suku bunga.

Ia juga mengatakan soal Downgrade Rating Kredit AS oleh Moody's: Penurunan peringkat kredit AS oleh Moody's yang dapat menyebabkan penurunan harga aset di AS dan melemahnya dolar AS, yang berpotensi mendorong aliran modal ke pasar negara berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek.

Sementara di sisi lainnya, beberapa ekonom justru melihat BI masih akan menahan suku bunga acuannya di tengah kondisi global yang terjadi saat ini.

Managing Director & CIO Pinnacle Investment, Andri Yauhari, menyampaikan BI akan menahan suku bunganya di 5,75% dengan pertimbangan karena Trade War yg masih belum ada kepastian masih dalam tahap negosiasi. Nilai tukar masih potensi terkoreksi, serta inflasi terakhir angkanya spike up meskipun masih dalam target BI.

Sementara Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana mengungkapkan soal risiko naiknya Current Account Deficit (CAD) yang akan dirilis pekan ini sehingga ia memproyeksikan BI masih belum akan memangkas suku bunganya.

Selanjutnya, Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia, Renno Prawira juga menyampaikan tekanan global dapat membatasi pelonggaran yang akan dilakukan BI.

"Yield obligasi pemerintah AS bertenor 2 tahun dan 10 tahun masing-masing naik sebesar 26 bps MoM dan 14 bps MoM menjadi 4,01% dan 4,54%, seiring meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap posisi utang pemerintah AS. Kenaikan yield US Treasury ini berpotensi mempersempit yield spread antara obligasi pemerintah Indonesia dan AS jika BI memangkas suku bunga terlalu dini," papar Renno.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |