DEN Beberkan Strategi Hapus Julukan RI 'Negara Ekonomi Biaya Tinggi'

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengungkapkan jurus pemerintah untuk meredam julukan Indonesia sebagai negara dengan biaya ekonomi yang tinggi atau high cost economy.

Ia mengakui, julukan yang diberikan oleh pengusaha tersebut disebabkan proses birokrasi Indonesia atau bureaucratic hurdles sudah sangat buruk dikenal di Internasional. Bahkan, Bank Dunia membuat kajian khusus terkait itu di Indonesia.

Chatib juga menduga, high cost economy juga menjadi salah satu biang kerok yang membuat Indonesia mengalami deindustrialisasi dini, atau makin merosotnya peranan industri manufaktur terhadap ekonomi atau PDB.

"Jadi premature deindustrializationnya, ini hipotesa saya, itu juga didorong oleh soal high cost economy," kata Chatib Basri saat memberikan kuliah umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), dikutip Kamis (15/5/2025).

Ia mengungkapkan, berdasarkan riset Bank Dunia atau World Bank, yang ia belum tahu apakah sudah dipublikasi atau belum, dan Chatib mengaku sebagai peer review dalam riset itu, terungkap bahwa biaya ekonomi atau biaya bisnis suatu perusahaan akan murah di Indonesia, bila dekat dengan penguasa.

"Hasilnya menarik, hasilnya begini, Indonesia adalah negara yang paling efisien di dalam mengurus izin. Kalau anda kenal penguasanya lebih efisien dibandingkan dengan Singapura, tetapi kalau enggak, Anda akan mengalami proses yang luar biasa," tuturnya.

"Jadi kalau anda punya politically well connected, your company pasti sangat efisien, karena semuanya itu bisa dilakukan dengan sangat cepat dan efisien. Tetapi kalau anda enggak punya political access maka prosesnya jadi sangat panjang," tegas Chatib.

Oleh sebab itu, ia menekankan, pemerintah saat ini fokus untuk melakukan deregulasi untuk menekan biaya ekonomi yang tinggi di Indonesia akibat berbelitnya proses birokrasi. Kebijakan deregulasi ini akan dieksekusi oleh Satgas Peningkatan Daya Saing serta Kemudahan dan Percepatan Perizinan Berusaha.

"Nah sekarang kalau kemudian deregulasi dilakukan, ini kan ekonomi biaya tingginya bisa dipotong," ungkapnya.

Sebagai informasi, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo juga kerap mengeluhkan high cost economy di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, dari hasil yang diajukan secara internal terhadap 2.000 perusahaan anggota Apindo, 43% pelaku usaha menilai regulasi yang ada belum mendukung kinerja produksi dan penjualan.

Kedua, tingginya biaya berusaha menjadi kendala serius. Biaya logistik Indonesia mencapai 23% dari PDB, lebih tinggi dibandingkan Malaysia, China, dan Singapura.

"Suku bunga pinjaman yang mencapai 8-14% serta upah 3 minimum yang naik rata-rata 8% per tahun melampaui kemampuan sektor industri padat karya. Cost of compliance akibat birokrasi yang tidak efisien dan lemahnya kepastian hukum turut memperberat beban usaha," ungkap Shinta.

Ketiga, yakni masalah terkait keamanan berusaha yang terus dianggap menjadi tantangan nyata di lapangan. Gangguan dari oknum di luar sistem hukum kerap menghambat proses produksi dan distribusi, menciptakan ketidakpastian operasional bagi pelaku usaha.

"Jadi ini juga sudah kami sampaikan kepada pemerintah dan kami juga apresiasi pemerintah sudah menangani dengan Satgas anti premanisme dan lain-lain, termasuk di level pemda. Tapi memang kita harus melihat keadaan kondisi di lapangan jadi kami terus masih menerima laporan," kata Shinta.

Terakhir, yakni kualitas sumber daya manusia juga menjadi penghambat utama, terlihat dari 30% responden kesulitan mendapat talenta berkualitas. Produktivitas tenaga kerja Indonesia (US$ 23,87 ribu) masih tertinggal dari rata-rata ASEAN, dengan dominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah (36,54%) dan hanya 12,66% lulusan perguruan tinggi.

"Ini kita semua sudah ketahui bahwa tingkat produktivitas yang rendah di ASEAN karena sebagian besar pekerja merupakan pekerja dengan keterampilan rendah. Dan ini produktivitas ini juga harus menjadi perhatian kita, kita US$ 23,87 ribu sementara ASEAN itu US$ 24,27 miliar," paparnya.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Awas! Great Depression Bisa Terulang Efek Perang Tarif AS-China

Next Article Daftar Ekonom Paling Berpengaruh di Dunia, Ada dari Indonesia

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |