Ironi Keracunan MBG, Potret Kegagalan Sistemik

7 hours ago 2

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, menyoroti tentang keracunan Makanan Gratis Bergizi (MBG) pada Kamis (30/10/2025).

Dijelaskannya, hingga Oktober 2025, angka keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menanjak tanpa kendali. Tiga lembaga pemerintah mencatat data berbeda.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kementerian Kesehatan melalui aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) melaporkan 11.660 kasus dari 119 kejadian di 25 provinsi per 5 Oktober.

Badan Gizi Nasional mencatat 70 insiden yang berdampak pada 5.914 penerima manfaat sepanjang Januari hingga September. Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan 17 persen sampel MBG positif bakteri, dengan 5.320 korban dari 55 kasus hingga 10 September.

Kantor Staf Presiden kemudian menyebut angka gabungan dari ketiga lembaga itu berada di kisaran 5.000 kasus hingga akhir September. Namun data masyarakat sipil menunjukkan skala yang lebih luas.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat jumlah korban telah menembus 13.168 orang hingga 20 Oktober 2025.

Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi potret kegagalan sistemik. Program yang diniatkan untuk memperkuat gizi generasi muda justru berubah menjadi sumber penyakit massal.

Di Lembang, Bandung Barat, 124 siswa dan guru terkapar usai menyantap menu MBG. Di Gunungkidul, hampir 700 anak mengalami gejala serupa.

Kasus berulang di berbagai provinsi menunjukkan pola yang sama: makanan dikirim, siswa sakit, dapur ditutup sementara, lalu semua senyap tanpa evaluasi menyeluruh.

Masalahnya berakar dari desain kebijakan yang rapuh. Anggaran per porsi terlalu kecil untuk menjamin bahan segar dan proses pengolahan yang aman.

Banyak dapur berdiri mendadak hanya demi memenuhi kontrak proyek. Peralatan seadanya, tenaga masak minim pelatihan, dan kebersihan sering sekadar formalitas.

Laporan inspeksi berhenti di meja birokrasi, sementara makanan terus dikirim tanpa kontrol mutu.

Ketika dapur berubah menjadi pabrik darurat, risiko kontaminasi menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.

Rantai distribusi memperparah keadaan. Makanan menempuh perjalanan jauh tanpa pendingin, menunggu berjam-jam sebelum disajikan.

Dalam suhu tropis, dua jam sudah cukup bagi bakteri berkembang biak. Ribuan sekolah harus diawasi, tetapi jumlah petugas tidak sebanding. Kelalaian kecil dalam satu titik dapat menjalar menjadi bencana di puluhan sekolah.

Sistem pengawasan lemah, koordinasi antarinstansi lambat, dan tanggung jawab tersebar tanpa arah.

Sampai hari ini, belum satu pun pengelola dapur atau pemasok diproses hukum. Hasil laboratorium menunggu konfirmasi berbulan-bulan, sementara korban terus bertambah.

Hukum tampak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Satgas-satgas dibentuk, tetapi pola tetap sama—korban dirawat, dapur ditutup sementara, lalu kasus menghilang dari sorotan.

Hak atas pangan aman dan bergizi adalah hak dasar warga. Pelanggaran terhadap hak itu merupakan kegagalan negara melindungi rakyatnya.

Namun kompensasi bagi korban hanya sebatas pengobatan gratis. Tak ada restitusi, tak ada akuntabilitas. Seolah ribuan anak dapat menukar kesehatan mereka dengan secarik surat maaf.

Wacana pelibatan kantin sekolah sebagai pengelola MBG mulai menguat. Kantin memiliki kedekatan dengan siswa dan lebih mudah diawasi guru serta orang tua.

Proses distribusi lebih singkat, risiko kontaminasi menurun. Model serupa telah berhasil di berbagai negara. Brasil melalui Programa Nacional de Alimentação Escolar melibatkan dapur sekolah dan petani lokal di bawah pengawasan dewan pangan independen.

India menjalankan Mid-Day Meal Scheme dengan dapur komunitas bersertifikat higienis dan laporan publik. Cina mengoperasikan School Nutrition Improvement Plan dengan pendampingan pemerintah daerah dan audit digital bahan makanan.

Jepang menjadikan kyūshoku, makan siang sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter dan kesehatan, dijalankan tenaga gizi profesional di dapur steril.

Keberhasilan negara-negara tersebut tidak bertumpu pada besarnya anggaran, melainkan pada integritas sistem: transparansi, pelatihan tenaga, dan pengawasan tanpa kompromi.

Jika Indonesia ingin memperbaiki MBG, model kantin sekolah bisa menjadi titik balik. Program ini dapat berubah menjadi sarana pendidikan gizi sekaligus bukti keseriusan negara terhadap masa depan anak-anaknya.

Namun jika hanya sekadar memindahkan tanggung jawab tanpa memperkuat pengawasan, MBG akan tetap menjadi proyek yang bergizi bagi kontraktor, tetapi beracun bagi penerima manfaat. Setiap suapan seharusnya menghadirkan rasa aman.

Selama keamanan pangan diabaikan dan kelalaian dibiarkan, MBG akan terus menorehkan luka kolektif. Negeri ini memiliki ahli, peraturan, dan sumber daya yang cukup. Yang kurang hanya satu: kemauan untuk bertanggung jawab.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |