Kecerdasan Buatan, Komputasi Kuantum, dan Tsunami Kebutuhan Energi

4 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Bayangkan suatu pagi pada tahun 2030. Seorang petani di Sragen, Jawa Tengah, menggunakan aplikasi kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi cuaca mikro demi menyesuaikan waktu tanam padi. Di sisi lain, seorang dokter di Makassar, Sulawesi Selatan, memanfaatkan sistem komputasi kuantum untuk mendiagnosis kanker tahap awal dalam hitungan detik.

Dari Jakarta hingga Jayapura, teknologi menjanjikan efisiensi dan keajaiban baru. Namun, ada satu mata rantai yang nyaris luput diperhatikan publik: energi.

Kecerdasan buatan dan komputasi kuantum bukan sekadar gelombang teknologi, melainkan tsunami kebutuhan listrik. Di tengah upaya global menurunkan emisi karbon dan transisi ke energi hijau, kebangkitan dua kekuatan digital ini berpotensi menjadi pisau bermata dua.

Pertanyaannya: apakah Indonesia siap menghadapi lonjakan permintaan listrik dari era digital yang serba hiperkomputasi?

Tsunami Kebutuhan Energi dari Dunia Digital
Kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Copilot, dan Bard kini hadir di ponsel, komputer, hingga kendaraan. Namun, di balik kenyamanan ini, ada beban energi yang masif. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), konsumsi listrik global untuk pusat data, AI, dan blockchain mencapai 460 TWh pada 2022-setara dengan total konsumsi listrik negara-negara Nordik.

Hanya dalam delapan tahun ke depan, angka itu diperkirakan melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 1.000 TWh per tahun pada 2030. Dari jumlah itu, AI diproyeksikan menyumbang lebih dari 300 TWh-setara dengan gabungan kebutuhan listrik Italia dan Argentina.

Penyebabnya bukan hanya karena semakin banyaknya pengguna, melainkan karena "inferensi"-yakni proses menjalankan prompt seperti pertanyaan di ChatGPT-yang terus berlangsung dalam miliaran kali per hari. Satu prompt sederhana dapat mengonsumsi 0.002 kWh, atau sekitar menghidupkan lampu LED 10 watt selama 12 menit.

Namun ketika digunakan oleh miliaran orang setiap hari, totalnya menjadi tsunami listrik digital yang tak terlihat. Bahkan diproyeksikan oleh IEA bahwa AI bisa menyumbang 10x lipat lonjakan permintaan energi pusat data pada 2026.

Tak hanya itu, komputasi kuantum, yang saat ini masih dalam tahap awal namun berkembang cepat, juga berpotensi menjadi konsumen energi yang sangat besar. Proses komputasi kuantum memerlukan kondisi ekstrem seperti suhu mendekati nol mutlak dan stabilitas daya super-tinggi untuk menghindari gangguan pada qubit (unit terkecil komputasi kuantum). Infrastruktur semacam itu akan memerlukan daya berkelanjutan dan redundansi berlapis.

Negara Maju Sudah Bersiap: Dari Arizona hingga Dublin
Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa berlomba membangun infrastruktur digital dan energi yang saling terintegrasi. Microsoft, Google, dan Amazon telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun pusat data berbasis energi terbarukan. Di negara bagian seperti Texas dan Arizona, proyek pembangkit surya dan ladang angin berdampingan dengan kompleks data center raksasa.

Namun, bahkan negara maju pun mulai kewalahan. Irlandia, salah satu negara dengan penetrasi pusat data tertinggi di Eropa, telah menghentikan sementara izin pembangunan data center baru karena keterbatasan jaringan listrik. Singapura sempat memberlakukan moratorium pada tahun 2019 terhadap pembangunan fasilitas sejenis hingga ada jaminan efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Sementara itu, China terus membangun data center di provinsi dengan surplus energi seperti Guizhou dan Inner Mongolia. Strateginya jelas yakni dekatkan beban digital ke sumber energi murah dan hijau.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memang belum menjadi pusat global untuk kecerdasan buatan atau komputasi kuantum. Namun, geliatnya sudah mulai terlihat. Pemerintah melalui Bappenas dan Kementerian Komdigi telah memasukkan pengembangan AI ke dalam Master Plan Ekonomi Digital Nasional.

Beberapa universitas dan lembaga riset juga mulai membangun prototipe komputasi kuantum skala kecil. Namun, tantangan terbesar bukan di sisi riset atau talenta, melainkan kesiapan Indonesia pada infrastruktur energi.

Menurut data PLN, kapasitas terpasang listrik nasional pada 2023 mencapai sekitar 81 GW, dengan cadangan daya (reserve margin) mencapai 30%-40% di beberapa wilayah. Namun kapasitas ini tidak tersebar merata. Pulau Jawa mengalami kelebihan daya, sementara di luar Jawa-terutama di Indonesia Timur-masih banyak daerah yang mengalami kekurangan reserve margin untuk energi.

Peningkatan permintaan listrik dari sektor digital dapat menambah tekanan pada sistem transmisi dan distribusi yang sudah rentan. Jika AI dan kuantum dijadikan tulang punggung ekonomi digital ke depan, maka kebutuhan listrik tambahan di klaster-klaster industri digital bisa mencapai 2-5 GW hanya untuk Jawa-Bali saja pada 2030.

Pandangan Strategis Indonesia: Energi Terbarukan Pasca-2030
Maka dari itu, pemerintah mulai menyusun arah kebijakan pasca-2030 dengan orientasi lebih agresif terhadap dekarbonisasi sistem energi:

1. Rencana Pensiun Dini PLTU dan Penggantiannya
o Komitmen puncak emisi sektor kelistrikan pada 2030 dan net zero pada 2060
o Pensiun 9,2 GW PLTU dan penggantian dengan EBT
o Dukungan dana USD 20 miliar melalui JETP
 
2. RUPTL Hijau dan Proyeksi Lanjutan
o Tambahan 20,9 GW pembangkit baru hingga 2030, 51,6% EBT
o Pasca-2030: PLTS skala kecil, PLTA besar, supergrid lintas pulau

3. Integrasi Teknologi Digital dalam Sistem Energi
o Smart grid, AMI, Energy storage system, dan digital twin untuk sistem tenaga listrik

Menambahkan perspektif energi terbarukan pasca-2030 dalam lanskap digital Indonesia mendorong satu pesan kuat: transformasi digital harus dibarengi transformasi energi. Maka, Indonesia perlu memperkuat simpul-simpul strategis sebagai berikut:

• Sinkronisasi Rencana Ekonomi Digital dengan Rencana Umum Energi Nasional
• Penguatan Peran Lembaga Investasi Strategis sovereign wealth fund seperti Danantara Indonesia
• Regulasi Wajib Penggunaan Energi Bersih untuk AI/Data Center
• Zona Ekonomi Khusus Digital-Energi Terpadu

AI dan komputasi kuantum adalah revolusi. Namun seperti semua revolusi, mereka membawa tantangan dan disrupsi. Tanpa strategi energi yang adaptif, teknologi ini bisa memperlebar ketimpangan digital, menambah beban lingkungan, dan menjadi bumerang bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Tapi dengan perencanaan yang cerdas, investasi yang tepat serta massive, dan keberanian mengambil lompatan inovatif, Indonesia bisa menjadikan energi sebagai tulang punggung revolusi digital. Kita tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tapi juga pelaku utama dalam ekosistem digital global yang berkelanjutan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |