Krisis Besar Melanda China, Muncul Fenomena Anak Ekor Busuk

5 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - China tengah menghadapi krisis ketenagakerjaan di kalangan lulusan muda. Banyak sarjana kesulitan memperoleh pekerjaan sesuai bidang studinya yang memunculkan fenomena yang dijuluki "anak dengan ekor busuk."

"Anak dengan ekor busuk" merupakan istilah yang menggambarkan generasi muda berpendidikan tinggi yang akhirnya bekerja serabutan, bergaji rendah, dan tetap bergantung pada orang tua.

Dalam laporan Channel News Asia (CNA) belum lama ini, sejumlah lulusan yang ditemui di job fair Lishuiqiao, Beijing, mengaku pesimistis terhadap pasar kerja saat ini. Hu Die (22 tahun), lulusan desain dari Harbin University of Science and Technology, menyebut peluang kerja di bidangnya sangat terbatas. Sementara itu, Li Mengqi (26 tahun), lulusan teknik kimia dari Institut Teknologi Shanghai, telah menganggur selama delapan bulan.

"Saya melihat peluangnya cukup suram, pasar tenaga kerja sepi, akhirnya saya mengurungkan niat mengejar posisi tertentu," kata Hu Die dikutip CNA di Jakarta, Sabtu (24/5/2025).

Fenomena ini tak hanya dialami lulusan universitas ternama. Chen Yuyan (26 tahun), lulusan vokasi Guangdong Food and Drug College, kini bekerja sebagai penyortir paket dengan gaji rendah. "Banyak perusahaan menuntut pengalaman, tapi tidak mau melatih lulusan baru. Gajinya pun sangat rendah," katanya.

Pendiri Young China Group, Zak Dychtwald menyebut fenomena ini sebagai bukti adanya ketimpangan serius antara ekspektasi lulusan dan realita pasar kerja. "Mereka bekerja keras di universitas, tapi pekerjaan yang tersedia tidak sepadan," ujarnya.

Asisten Profesor Sosiologi di University of Michigan, Zhou Yun, menyebut menyusutnya sektor-sektor penyerap tenaga kerja tradisional seperti startup dan pendidikan memperburuk kondisi. Di sisi lain, sektor-sektor maju seperti AI dan otomasi tetap sangat kompetitif.

"Industri yang secara tradisional menjadi penyerap utama lulusan perguruan tinggi, seperti startup internet dan pendidikan, juga mengalami penyusutan dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, ada alasan struktural yang mendalam di baliknya," kata ia.

Tekanan ini turut memicu perubahan sikap generasi muda China terhadap kerja. Profesor Eli Friedman dari Cornell University juga menyoroti makin banyak anak muda enggan menerima pekerjaan dengan kualitas rendah atau memulai usaha kecil, berbeda dari generasi orang tua mereka. Istilah "tangping" atau "merunduk" menggambarkan kecenderungan ini atau menarik diri dari persaingan kerja yang hiperkompetitif.

"Ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kehilangan arah dan martabat," ujar Zhou.

Pemerintah China menyadari besarnya tantangan ini. Tahun ini, China akan mencetak rekor lulusan universitas baru sebanyak 12,22 juta orang. Menteri Sumber Daya Manusia Wang Xiaoping mengakui adanya ketidakseimbangan signifikan antara pasokan dan permintaan tenaga kerja.

Laporan Kerja Pemerintah China 2025 menggarisbawahi urgensi perluasan lapangan kerja dan dukungan kewirausahaan, termasuk subsidi industri padat karya, pemotongan pajak, dan pengembalian premi asuransi pengangguran. Target pemerintah adalah menciptakan lebih dari 12 juta pekerjaan baru di kota-kota besar tahun ini.

Ironisnya, di tengah surplus lulusan perguruan tinggi, China masih kekurangan 30 juta pekerja terampil di sektor manufaktur hingga 2025. Ini dilaporkan menurut Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi.


(fab/fab)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Tarif AS-China Hampir Berakhir

Next Article Video: Jumlah Pengangguran RI Capai 7, 5 Juta, Negara Tawarkan Ini

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |