Pejabat Cekik Rakyat Lewat Pajak, Mayatnya Dibiarkan di Jalan

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Era kolonialisme VOC alias Vereenigde Oostindische Compagnie di Indonesia menyimpan banyak kisah sejarah yang bisa menjadi pembelajaran politik saat ini, terutama terkait pentingnya menghilangkan kesewenang-wenangan saat berkuasa.

Kisah sejarah terkait itu kesewenang-wenangan itu pernah dilakukan seorang pejabat VOC di tanah Jakarta. Kisah hidupnya penuh kontroversi karena sering membuat kebijakan yang tidak pro-rakyat hingga akhir hidupnya diacuhkan oleh warganya sendiri. Tak ada satupun masyarakat yang mau mengurus jasadnya.

Nama pejabat kontroversial itu adalah Qiu Zuguan. Ia merupakan kepala lembaga Boedelkamer. Lembaga ini bertugas mengurus harta peninggalan orang-orang Tionghoa di Batavia (kini Jakarta). Jabatannya memang tak sementereng Gubernur Jenderal VOC tapi sangat strategis karena langsung berhadapan dengan warga.

Pada era kepemimpinannya, banyak warga Tionghoa yang kembali ke negeri asal sambil membawa aset mereka. Tugas Qiu adalah menarik pajak dari aset yang dibawa itu. Dia juga berwenang mengurus ahli waris maupun peninggalan yang ditinggalkan di Jakarta.

Sejarawan Leonard Blusse dalam The Chinese Annals of Batavia (2018) menulis, sejak menjabat pada 1715, Qiu kerap membuat rakyat sengsara lewat kebijakan-kebijakan pajaknya. Hampir semua aktivitas dikenakan pajak atau pungutan.

Di antaranya ialah pungutan bagi masyarakat yang ingin menggelar pernikahan. Warga Tionghoa yang hendak menggelar upacara pernikahan wajib membayar pajak.

Beban serupa juga terjadi ketika seseorang meninggal. Keluarga harus membayar pungutan berdalih sertifikat kematian, meskipun sedang berduka.

Tak heran bila masyarakat, khususnya warga Tionghoa, memendam rasa benci pada Qiu. Sebagai catatan, pada era VOC memang orang-orang Tionghoa jadi kelompok yang paling sering diperas pajak untuk hal-hal pribadi.

Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menyebut mereka bahkan dikenakan pajak kepala dan kuku. Bila menolak membayar, ancamannya adalah denda 25 gulden atau hukuman penjara.

Meski tercekik, warga hanya bisa patuh pada aturan itu jika tidak ingin mendapat konsekuensi penjara.

Namun, ketika Qiu meninggal pada Juli 1721, kesempatan untuk melampiaskan kekesalan muncul di benak warga. Lazimnya, pejabat atau tokoh terkenal diantar dengan hormat ke pemakaman, tetapi hal itu tidak berlaku bagi Qiu. Tak seorang pun mau mengangkat petinya.

"Alhasil, peti mati berisi jasad Qiu diletakkan begitu saja di tengah jalan karena tidak ada orang mau mengangkatnya sampai kuburan," tulis Leonard Blusse.

Keluarganya pun kebingungan. Berbagai bujukan agar warga mau mengantar jasadnya ditolak mentah-mentah. Pada akhirnya, mereka terpaksa menyewa warga lokal untuk mengusung peti Qiu ke liang lahat. Meski sudah terkubur, kenangan pahit akibat kebijakan menyengsarakan Qiu tetap melekat kuat di ingatan rakyat.


(arj/fab)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |