Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia menyaksikan babak baru yang tak terduga dalam sejarah Timur Tengah ketika Ahmed al-Sharaa, mantan militan Al Qaeda, secara resmi bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Arab Saudi pada Rabu (14/5/2025).
Pertemuan tersebut menjadi tonggak besar dalam kebangkitan politik luar biasa Sharaa yang dulu dikenal sebagai Abu Mohammad al-Golani, komandan kelompok Nusra Front, cabang resmi Al Qaeda dalam perang Suriah.
Pertemuan itu terjadi tak lama setelah Trump mengumumkan pencabutan sanksi AS terhadap Suriah, sebuah langkah yang secara drastis mengubah posisi internasional negara yang selama ini terisolasi.
Bagi Sharaa, yang naik ke tampuk kekuasaan setelah pasukannya menggulingkan Bashar al-Assad pada 2024, dukungan dari AS menjadi dorongan besar untuk mempersatukan kembali negara yang terpecah dan menghidupkan kembali ekonomi yang lumpuh akibat sanksi.
"Saya merasa sesak berada di istana ini. Saya terkejut dengan betapa banyak kejahatan terhadap masyarakat yang berasal dari setiap sudutnya," ujar Sharaa dalam wawancara eksklusif dengan Reuters dari Istana Kepresidenan di Damaskus.
Perjalanan Panjang dari Militan ke Penguasa
Sharaa, yang lahir di Arab Saudi dan dibesarkan dalam keluarga nasionalis Arab, pertama kali masuk ke Suriah pada awal 2000-an atas perintah pemimpin Al Qaeda di Irak, Abu Omar al-Baghdadi, untuk memperluas jaringan jihad.
Ia menjadi terkenal saat memimpin Nusra Front, dan namanya masuk dalam daftar teroris oleh AS pada 2013, yang menuduhnya menjalankan misi untuk menggulingkan Assad dan memberlakukan hukum syariah di Suriah.
Namun, pada 2016, Sharaa memutuskan hubungan dengan Al Qaeda dan perlahan mulai mengubah citra kelompoknya sebagai bagian dari revolusi nasional Suriah, bukan lagi gerakan jihad global.
Saat pasukannya mengambil alih Damaskus pada Desember 2024, ia mengganti seragam tempur dengan jas dan dasi, mengumumkan pemerintahan baru yang berjanji lebih inklusif dan adil.
Kemenangan militer Sharaa, yang didorong oleh serangan dari basis Islamis di barat laut Suriah, terjadi di tengah melemahnya dukungan Rusia dan Iran terhadap Assad karena keterlibatan mereka di konflik lain. Pemerintah baru Sharaa memperoleh dukungan signifikan dari Turki, Arab Saudi, dan Qatar, negara-negara yang selama ini berseteru dalam menentukan arah politik regional Suriah.
Namun, janji-janji reformasi Sharaa belum berjalan mulus. Kelompok-kelompok bersenjata tetap enggan menyerahkan senjata, dan konflik sektarian masih merajalela, meninggalkan ketakutan mendalam di kalangan minoritas seperti Alawi dan Druze.
Di wilayah selatan, Israel telah memperingatkan bahwa pasukan Sharaa tidak boleh dikerahkan, dan mengeklaim Sharaa masih menyimpan ambisi jihad.
"Kami tidak akan membiarkan kekuatan yang berakar dari kelompok jihadis mendekati perbatasan kami atau mengancam komunitas Druze di Suriah," tegas seorang pejabat Israel, menyusul serangan udara dekat Istana Kepresidenan Damaskus pada 2 Mei lalu.
Dari Label Teroris ke Meja Diplomasi Dunia
Tantangan besar lainnya muncul pada Maret, ketika loyalis Assad menyerang pasukan pemerintah baru di wilayah pesisir. Serangan balasan oleh milisi Islamis menewaskan ratusan warga sipil Alawi, memperparah kekhawatiran bahwa pemerintahan Sharaa hanya akan menggantikan satu bentuk otoritarianisme dengan yang lain.
Meski Sharaa menjanjikan pemilu, konstitusi sementara yang diberlakukan saat ini justru memberikan kekuasaan luas di tangannya, memicu kritik bahwa Suriah bisa kembali tergelincir ke dalam sistem pemerintahan otokratik dengan warna ideologis berbeda.
Mengenai penerapan hukum syariah, Sharaa memilih untuk tidak memberikan jawaban langsung.
"Itu adalah urusan para ahli," katanya dalam wawancara terbaru, meski konstitusi sementara memperkuat peran syariah dalam pemerintahan.
Transformasi politik Sharaa menjadi sorotan internasional, mengingat latar belakangnya yang sangat kontroversial. Dalam wawancara terdahulu dengan PBS Frontline pada 2021, Sharaa mengakui bahwa pada saat serangan 11 September 2001 terjadi, banyak orang di dunia Arab merasakan "ketidakadilan dari Amerika terhadap dunia Islam."
"Siapapun yang bilang dia tidak senang saat itu, kemungkinan besar tidak jujur. Tapi tentu, orang-orang menyesali pembunuhan terhadap warga sipil tak bersalah," ujarnya.
Sharaa juga membantah bahwa Nusra Front pernah menjadi ancaman bagi Barat, dan mengeklaim kelompoknya lebih "terukur" dalam berinteraksi dengan warga sipil dibanding ISIS.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Trump Siap Cabut Semua Sanksi AS Ke Suriah
Next Article Petinggi Dunia Ramai-Ramai Kumpul di Tempat Raja Salman, Ada Apa?