Banten, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) buka suara perihal potensi kekurangan pasokan gas bumi yang saat ini tengah dialami industri dalam negeri.
Kepala SKK Migas Djoko Siswanto tak menampik bahwa pasokan gas bumi domestik saat ini tengah mengalami defisit. Oleh sebab itu, guna mengatasi persoalan tersebut pihaknya akan melakukan swap gas agreement.
"Nanti kita hari ini juga akan tanda tangan, atau besok gitu. Untuk swap agreement ya. Dengan supplier atau produksi gas di Natuna dan di Sumatera," kata Djoko ditemui di sela acara The 49th IPA Convention and Exhibition di ICE BSD, Tangerang, pada Selasa (20/5/2025).
Di sisi lain, Djoko memahami bahwa implementasi dari kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi tujuh sektor industri sebesar US$ 6,5-7 per MMBTU belum sepenuhnya merata. Namun yang pasti, pihaknya akan terus berupaya untuk memenuhi pasokan gas untuk kebutuhan domestik.
"Ya memang sebagian ada yang HGBT, sebagian tidak kan? As long as gasnya ada dulu. Gasnya ada dulu. So far sih kita bisa memenuhi ya. So far kan kita tadinya mau import jadi nggak kan? Masih bisa. Dengan optimalisasi lah kita cari supaya swap gas. Udah ya," kata dia.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi tujuh sektor industri sebesar US$ 6,5-7 per MMBTU. Meski demikian, realisasi di lapangan industri harus membayar gas hingga US$ 16,77 per MMBTU.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto menilai sepanjang Januari hingga April 2025 penerapan kebijakan ini tidak berjalan sesuai harapan industri keramik. Pasalnya, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) justru menerapkan besaran persentase Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) yang semakin menurun.
Misalnya saja, di Jawa bagian barat AGIT hanya sebesar 65,3%, sementara di Jawa bagian timur 48,8%. Hal ini membuat industri harus memproduksi dengan rata-rata biaya gas hingga di atas US$ 8 per MMBTU, atau sekitar 15% lebih mahal.
"Kehadiran Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM sangat dibutuhkan untuk menengahi masalah defisit pasokan gas karena Industri tidak mungkin bertumbuh tanpa kelancaran pasokan gas dan industri tidak mungkin bisa bertahan hidup dengan harga regasifikasi gas US$ 16,77 per MMBTU yang dikenakan oleh PGN," kata Edy kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/5/2025).
Lebih lanjut, Edy menilai ketidakpastian pasokan gas dan tingginya biaya tambahan atau harga regasifikasi gas juga dinilai merusak iklim investasi dan kepastian berusaha di Indonesia.
Sehingga, hal ini dikhawatirkan akan mengganggu peta jalan (road map) industri keramik nasional, yang telah merencanakan ekspansi kapasitas produksi dari 625 juta m2 per tahun menjadi 718 juta m2 per tahun pada akhir 2026. Adapun, target jangka panjangnya mencapai 850 juta m2 per tahun pada 2030.
Di sisi lain, ia mengungkapkan bahwa tingkat utilisasi Industri Keramik pada kuartal 1 tahun 2025 telah menunjukkan perbaikan, meningkat ke level 75% dibanding rata-rata tahun 2024 di 65%.
"Asaki di awal tahun 2025 memproyeksi tingkat utilisasi produksi keramik di level 85% setelah mendapatkan dukungan Pemerintah yakni PMK BMAD, PMK BMTP dan Kebijakan SNI Wajib untuk Keramik. Namun dengan gangguan supply gas tersebut membuat posisi Industri Keramik "Maju Mundur Kena"," katanya.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ganti Pemimpin Ganti Aturan, Investor Migas "Pusing" Masuk RI
Next Article SKK Migas 'Cuci Gudang'! 503 Sumur Nganggur Dilelang ke Investor