Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait penyaluran Rp 200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dikhawatirkan minim dampak bagi daerah. Sumber dana tersebut berasal dari uang pemerintah, di antaranya Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA), yang totalnya sekitar Rp 425 triliun di Bank Indonesia (BI). Suntikan tersebut dilakukan dengan tujuan memperkuat likuiditas bank untuk memperderas penyaluran kredit.
Efek berganda yang diharapkan adalah bergeraknya roda perekonomian di tengah perlambatan kredit. Harapannya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dapat dicegah berkat likuiditas yang membaik. Fakta problematiknya, tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan suntikan kredit. Sebab, karakteristik ontologis kredit adalah beban utang yang harus dibayarkan dunia usaha kemudian hari.
Langkah Riskan
Mari kita berangkat dari teori Irving Fisher, di mana kuantitas uang yang beredar berbanding lurus dengan perubahan harga. Persamaan MV=PT melambangkan jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan kecepatan peredaran (V) sama dengan harga barang/jasa (P) dan volume barang/jasa yang jadi objek transaksi (T). Artinya, menambah jumlah uang beredar berpotensi diikuti dengan meningkatnya harga atau transaksi.
Secara matematis, variabel P dan T mencerminkan pendapatan riil yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jika skema ini berhasil, kalkulasi agregat akan menampakkan realita statistik bahwa secara simultan perekonomian Indonesia akan menunjukkan pertumbuhan. Namun timbul pertanyaan: apakah pertumbuhan ini akan merata atau terpusat di titik ekonomi tertentu?
Menilik realita hari ini, tentu saja skeptis untuk melihat bahwa akan terjadi pertumbuhan secara merata. Indonesia memiliki persoalan ketimpangan yang amat serius dari sisi antarwilayah maupun antarkelompok masyarakat. Skema suntikan Purbaya bisa dikatakan sebagai langkah kapitalistis yang menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar di tengah ketidakmerataan daya dobrak pasar terhadap perekonomian daerah.
Kebijakan suntikan Purbaya tentu akan menambah kuantitas uang dan memacu likuiditas perbankan. Tentu saja perbankan wajib menyalurkan dana yang ada ke masyarakat untuk memacu perekonomian. Aturan main yang digulirkan Purbaya adalah larangan untuk membeli surat berharga, seperti SBN ataupun SRBI. Artinya, timbul konsekuensi berupa kewajiban bagi perbankan untuk mempercepat penyaluran kredit ke sektor swasta.
Pertanyaannya, ke mana arah likuiditas ini nantinya? Apakah ke masyarakat atau sektor swasta saja? Bila siapapun memiliki akses terhadap dana ini, likuiditas dana yang mengalir terlalu cepat (V) ke arah konsumsi tanpa diikuti kenaikan produktivitas (nilai T konstan) akan memicu inflasi (kenaikan P).
Jumlah uang beredar (M) akan meningkat diikuti kecepatan peredaran (V). Bila ingin tingkat harga (P) stabil, maka tidak ada pilihan lain selain meningkatkan perdagangan (T). Dengan situasi daya beli yang terbatas dan dinamika perang dagang hari ini, tentu meningkatkan nilai T akan menjadi tantangan yang berat. Deindustrialisasi dan PHK massal hari ini terjadi sebagai imbas atas lemahnya daya saing industri lokal yang berimbas pada menurunnya T.
Bilamana diarahkan pada sektor swasta tertentu, ada kemungkinan tidak semua sektor swasta akan menerima kredit. Bisa jadi disebabkan oleh minimnya permintaan kredit maupun risiko usaha tinggi. Jika dunia usaha belum siap atau risiko calon debitur tinggi, maka rentan terjadi non performing loan (NPL) yang jadi momok perbankan.
Kalaupun jalan, situasi ini hanya akan menguntungkan daerah dengan aktivitas sektor privat berintensitas tinggi. Daerah minim investasi sektor privat tentu tak mendapat benefit apapun. Pasca pemangkasan dana transfer, kebijakan ini tentu tidak menyelesaikan persoalan riil di daerah. Kebijakan suntikan Purbaya hanya akan memperkuat kapital dengan risiko tidak bertumbuhnya ekonomi secara merata.
Jika akan disalurkan ke semua wilayah, akankah kebijakan ini bermuara pada penyuntikan dana Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KMP)? Ini bisa terjadi, sebab PMK 49/2025 menyebutkan KMP bisa mengakses pinjaman hingga Rp 3 miliar dari Himbara dengan bunga tetap 6%/tahun, tenor enam tahun, dan masa tenggang 6-8 bulan.
Ini tentu beresiko tinggi di tengah potensi korupsi dan kebocoran anggaran, kurangnya modal dan aset, tumpang tindih fungsional dengan BUMDes, serta kelemahan sumber daya manusia dan administratif.
Tak Inklusif
Pertumbuhan ekonomi sejatinya tidak selalu linear dengan banyaknya masyarakat yang menerima kredit. Menilik data Susenas BPS 2023 dan data pertumbuhan ekonomi daerah, Provinsi dengan penetrasi kredit tinggi relatif bukan provinsi dengan pertumbuhan tertinggi.
Gorontalo (38,02%), NTB (33,98%), dan NTT (33,03%) termasuk top 3 untuk penerima kredit, tapi pertumbuhan ekonominya sedang-rendah (5,23%, 1,80%, 3,47%). Sebaliknya, Maluku Utara tumbuh ekstrem 20,49%, tapi proporsi penerima kredit justru sangat rendah 11,52%.
Hal ini menunjukkan akses kredit rumah tangga tidak otomatis berbanding lurus dengan laju pertumbuhan PDRB. Penyebabnya, pertumbuhan bisa lebih dipengaruhi oleh sektor ekonomi skala besar seperti tambang, migas, pariwisata. Kalaupun suntikan Purbaya dinikmati pelaku ekonomi skala besar, bisa jadi implikasi ekonomi yang diciptakan akan relatif terbatas.
Apa yang terjadi di Gorontalo, NTB, dan NTT menunjukkan banyaknya rumah tangga yang terhubung ke layanan perbankan namun belum berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi daerah, yang mengindikasikan dominannya aktivitas konsumtif daripada produktif. Demikian halnya dengan daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan akses kredit rendah, ada persoalan minimnya inklusivitas keuangan (bahkan literasi) sehingga kredit terserap oleh sektor besar.
Pertumbuhan yang inklusif patut untuk diperjuangkan dalam jangka panjang, sebab pertumbuhan ekonomi hari ini belum diikuti perbaikan kemampuan ekonomi kelas menengah. Birdsall (2007) mendefinisikan pertumbuhan inklusif sebagai pertumbuhan yang kondusif untuk meningkatkan ukuran dan kemampuan ekonomi kelas menengah. Artinya, penting untuk mulai memikirkan paradigma pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat lintas kelas.
OECD memiliki empat dasar pengukuran: pertumbuhan dan memastikan pembagian manfaat yang adil dari pertumbuhan; pasar yang inklusif dan berfungsi dengan baik; kesempatan dan landasan yang sama untuk kemakmuran masa depan; dan tata Kelola. Suntikan Purbaya akan menimbulkan efek simultan bilamana mampu memenuhi empat kriteria tersebut.
Fakta problematiknya, realita ekonomi kita hari ini belum menuntaskan persoalan pada kriteria tersebut. Ketimpangan antar wilayah dan kelas yang tinggi, lapangan pekerjaan yang jauh dari janji kampanye 19 juta, pasar yang belum inklusif di seluruh Indonesia, hingga persoalan fraud kredit yang kian marak di dunia perbankan.
Kebijakan yang menurut Purbaya ini strategis patut untuk kita awasi secara saksama. Skema penyehatan likuiditas sektor swasta tanpa memperhatikan kualitas debitur dan aspek pemerataan hanya akan menciptakan ilusi pertumbuhan. Ekonomi mungkin akan bertumbuh secara agregat, namun pada sisi parsial akan memunculkan ketimpangan.
(miq/miq)

6 hours ago
4

















































