Oleh Armin Nasution
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dana Pemda parkir di bank per Agustus 2025, sebesar Rp233,11 triliun. Angka itu mengalami kenaikan sejak Agustus 2021 yang sebesar Rp178,95 triliun; 2022 senilai Rp203,42 triliun; 2023 sebesar Rp201,3 triliun; dan 2024 sebesar Rp192,57 triliun. Dengan siklus itu pula, dana yang mengendap di bank tersebut akan berada di posisi Rp95-Rp100 triliun tiap akhir tahun. Penurunan terjadi karena di akhir tahun daerah memacu belanja daerah melalui proyek-proyek yang telah diteken.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Purbaya to the point. Dia berani mengganggu keheningan praktik membungakan uang kepala daerah dengan menyebut nama dan jumlahnya. Wajar kalau kemudian sejumlah kepala daerah gerah dan mengajak adu data.
Purbaya bicara by data. Karena Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun mengamini hal itu. Hanya saja data yang disampaikan Tito Karnavian lebih sedikit dari yang ditampilkan Menkeu Purbaya. Di tengah upaya mendorong percepatan pergerakan ekonomi Menteri Keuangan memang sudah membuat beberapa kebijakan agar likuiditas lebih longgar.
Termasuk misalnya memindahkan simpanan dana pemerintah ke sistem perbankan hingga mendorong BI menurunkan suku bunga kredit setidaknya di angka 7 persen. Langkah ini tergolong berani. Tapi tidak ada cara lain, ekonomi Indonesia harus didorong tumbuh mengejar target Presiden Prabowo Subianto.
Bukan hanya di kebijakan moneter dan fiskal, tapi Menkeu Purbaya sudah sampai pada tahapan membongkar praktik perekonomian menyimpang. Termasuk penyeludupan, menghentikan proyek-proyek prestisius yang dibiayai APBN, menolak membayar utang Whoosh serta kebijakan-kebijakan lain.
Data soal dana parkir kepala daerah ini menyengat kuping para gubernur yang terasa begitu panas. Apalagi Menkeu dan Mendagri sepemahaman. Bagaimana tidak, posisi simpanan pemerintah pusat maupun daerah di bank umum mencapai total Rp653,4 triliun pada Agustus 2025.
Menkeu menyatakan bakal menginvestigasi lebih lanjut terkait simpanan jumbo pemerintah itu. Total simpanan pemerintah meliputi giro Rp188,9 triliun, tabungan Rp8 triliun dan berjangka Rp57,5 triliun. “Cash cukup banyak di tangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Cuma cara belanjanya yang belum optimal,” kata Menkeu.
Itu belum termasuk dana pemerintah pusat yang juga ditempatkan di simpanan berjangka bisa berupa deposito atau giro. “Yang di berjangka itu ada Rp285,6 triliun. Uang apa itu? Nanti kita akan investigasi. Jangan sampai uang nganggur juga punya saya di perbankan. Tapi kalau saya tanya anak buah saya, enggak tahu itu uang apa. Mungkin pada ngibul ya. Kalau kita, uang apa itu? Enggak, nanti kita kejar,” kata Menkeu.
Uniknya dari 15 daerah dengan porsi tertinggi penempatan dana maka Sumatera Utara salah satunya. Tertinggi Jakarta, Jawa Timur, Banjar Baru, Kaltara, Jawa Barat hingga Sumut senilai Rp3,1 triliun (data Menkeu).
Penempatan dana di perbankan tentu jadi sorotan karena realisasi total belanja APBD hingga September 2025 baru mencapai Rp712,8 triliun atau setara 51,3% dari total pagu Rp1.389 triliun. Angka ini lebih rendah 13,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sehingga memang perputaran ekonomi berjalan lambat karena belanja modal hanya Rp58,2 triliun.
Jika dikalkulasi penempatan dana di perbankan dilakukan dengan tiga instrumen simpanan. Deposito, tabungan dan giro. Secara aturan penempatan dana itu tidak menyalahi karena di Kemendagri ada aturan yang membolehkan kepala daerah menempatkan dananya. Ini yang disebut management cash.
Artinya Pemda boleh memforcasting. Misal jika saat ini ada uang Rp50 triliun, yang akan dibelanjakan 2 bulan ke depan. Maka menunggu uang ini dikeluarkan, pemda boleh memindahkan uangnya ke deposito atau giro dalam rangka manajemen kas. Pada saat pemda butuh, bahkan hari ini butuh uangnya bisa dikembalikan.
Tapi tentu tidak ideal karena seharusnya kucuran dana pemerintah pusat dan daerah itu bisa diserap langsung pada proyek pembangunan. Maka wajar kalau kemudian Menkeu Purbaya menyatakan akan langsung mengivestigasi soal dana parkir tersebut.
Sebenarnya dengan menempatkan dana di deposito dan giro maka Pemda akan memperoleh margin. Dengan hitung-hitungan sederhana setiap penempatan Rp1 triliun dana di perbankan maka imbal hasil yang didapatkan setelah dipotong pajak akan mencapai Rp26 miliar per bulan dengan suku bunga berlaku saat ini. Kalkulasi ini hitungan sederhana. Artinya dengan komposisi Rp1 triliun misalnya dalam tiga bulan maka Pemda akan memperoleh setara Rp75 miliar. Kalau misalnya Pemrovsu menempatkan Rp3 triliun dengan durasi 1 bulan bisa Rp225 miliar (kurang lebih). Bagaimana kalau 3 bulan?
Pertanyaannya kemana hasil ‘rente’ (membungakan uang) para kepala daerah se-Indonesia ini digunakan? Ke pos bagian mana di APBD hasil bunga itu ditempatkan dan dioperasikan untuk apa. Ataukah dana ini mengalir tanpa tuan? Masuk ke kantong pribadi kepala daerah atau menjadi pendapatan yang dibagi-bagi. Itu perlunya kepala daerah membuka data dan menjelaskan seterang-terangnya kemana hasil ‘rente’ dimanfaatkan.
Selanjutnya, bantahan para kepala daerah apakah itu Gubernur Jawa Barat yang getol menelusuri dana atau Pemprov Sumut yang menyatakan berbeda dengan Menkeu, misalnya Sumut yang mengklaim dana parkirannya hanya Rp990 miliar harus dijelaskan dengan data. Artinya mulai kapan misalnya dana parkir milik Pemprovsu itu bernilai Rp990 miliar. Karena bisa saja ketika Menkeu Purbaya mengungkap data, semua kepala daerah langsung menguras-nya dari sistem perbankan. Apakah bisa? Seperti sistem management cash yang disampaikan Kemendagri, mengizinkannya. Setiap saat diperlukan dan harus ditarik dari sistem perbankan, itu diperbolehkan.
Dengan komposisi penempatan dana yang parkir di perbankan oleh Pemda saat ini, wajar kalau pergerakan ekonomi sangat lambat. Pemprov misalnya menempatkan uang di bank daerah dengan suku bunga 3 persen, lalu bank daerah ini menempatkan dana tadi ke bank lain dengan suku bunga lebih tinggi 1 persen, atau menempatkannya di surat utang negara atau surat berharga pemerintah.
Wajar kalau kemudian kalkulasi perputaran ekonomi negara ini dikelilingi ‘rente’. Bahkan jika kemudian hasil investigasi Kemenkeu menunjukkan ada daerah yang menempatkan uangnya di surat utang negara maka itu sama saja memindahkan uang dari kantong kiri ke kantong kanan. Putarannya di situ-situ saja, beban bunga (kupon) jadi beban pemerintah dan masyarakat tidak menikmati apapun dari alokasi anggaran yang disiapkan.
Sudah pas itu Menkeu Purbaya mengungkap semua simpanan dana milik pemerintah daerah provinsi hingga kabupaten yang parkir di sistem perbankan agar ekonomi bergerak kencang.
Lalu setiap daerah yang menghasilkan uang dari penempatan di deposito atau giro harus jelas dan detil kemana bunga (rente) dimanfaatkan. Ini bukan saja di pemerintah daerah, sebenarnya hal yang lumrah dipraktekkan semua lembaga pemerintahan.
Semoga Menkeu kita ini memutus hikayat para kepala daerah pemburu ‘rente’ sehingga ekonomi di daerah bergerak kencang. Jangan seperti saat ini, proyek-proyek pemerintah baru dikebut di akhir tahun padahal dananya sudah ready sejak Maret atau April. Kucuran likuiditas harusnya sudah lebih banyak tapi tak berefek ke pembangunan daerah karena tertahan di deposito perbankan.
Saatnya semua pihak buka-bukaan data, berapa dana yang dideposito, berapa hasil dan kemana digunakan. Agar praktek keuangan di negara yang tersandera ‘rente’ ini perlahan bisa dimusnahkan. Menkeu sudah menjanjikan bahwa ekonomi negara ini akan terang benderang. Tentu ketika setiap pernyataan dibuktikan oleh data valid.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.



















































