Banyak Negara Maju Boncos karena Kereta Cepat: Benarkah Proyek Gagal?

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek kereta cepat (KC) di berbagai negara, termasuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh, sering kali menjadi simbol kemajuan teknologi dan modernitas. Namun, di balik kemegahannya, proyek ini menyimpan realitas finansial dan sosial yang kompleks.

Pembangunan KC adalah pertaruhan besar yang melibatkan investasi triliunan rupiah. Janjinya adalah memangkas waktu tempuh, mendorong ekonomi regional, dan menciptakan 'multiplier effect'. Tetapi, data global menunjukkan bahwa janji tersebut tidak selalu terwujud, bahkan di negara maju sekalipun.

Lantas, bagaimana potret profitabilitas dan dampak sosial-ekonomi jaringan kereta cepat di dunia? Mana yang sukses meraup untung, dan mana yang justru 'buntung' serta memperlebar kesenjangan? Mari kita bongkar datanya.

Profitabilitas dan Kepemilikan (Untung vs Buntung)

Kebingungan publik soal profitabilitas HSR sering terjadi karena kegagalan membedakan dua metrik utama:

  1. Profitabilitas Operasional, yaitu apakah pendapatan tiket menutupi biaya harian, dan
  2. Profitabilitas Modal Penuh, yaitu apakah laba operasional juga mampu menutupi utang biaya konstruksi awal yang astronomis.

Hampir semua jaringan HSR di dunia gagal total pada metrik kedua. Biaya modalnya terlalu besar. Studi menunjukkan hanya jalur dengan kepadatan penumpang ekstrem-di atas 20 juta per tahun-yang punya peluang, seperti Tokaido Shinkansen (Jepang) dan TGV Paris-Lyon (Prancis).

Beberapa operator berhasil mencetak laba operasional. Jepang adalah patokan global; operator JR adalah mesin uang sejati, dengan perkiraan laba operasi JPY 770 Miliar untuk tahun penuh 2025. Di Prancis, TGV adalah "sapi perah" yang mendorong laba bersih SNCF Group sebesar €1,6 Miliar pada 2024. Korea Selatan (Korail) secara konsisten untung, dengan untung bersih konsolidasi ₩192,67 Miliar untuk FY2024. Sementara Taiwan untung NT$6,45 milyar dan Italia (Trenitalia) mengalami untung sebesar €249 juta secara konsolidasi.

Di sisi lain, kerugian struktural adalah hal biasa. Jerman (Deutsche Bahn) merugi di segmen jarak jauhnya (EBIT -€59 Juta H1 2025). Turki (TCDD) juga rugi besar (-3,11 Miliar TL pada 2023), sangat bergantung pada subsidi publik.

Spanyol (Renfe) juga baru-baru ini kembali merugi dalam laporannya sebesar €99,5 juta. China hanya untung di jalur padat seperti Beijing-Shanghai (laba 12,77 Miliar CNY 2024) sementara di jalur lainnya China harus meraup kerugian sehingga secara konsolidasi terjadi kerugian.

Berikut adalah kepemilikan dan juga status profitabilitas dari kereta di masing-masing negara tersebut dari 2023-2025 baik terfokus pada divisi kereta cepat saja maupun secara konsolidasi.

Paradoks Dampak Sosial-Ekonomi

Jika sebagian besar proyek ini 'boncos' secara finansial, mengapa negara harus membangunnya? Jawabannya terletak pada dampak ekonomi makro dan sosial.

Namun, di sinilah letak paradoks terbesar high-speed rail. Alih-alih otomatis memeratakan ekonomi, high-speed rail (HSR) adalah 'pedang bermata dua' yang dampaknya sangat bergantung pada geografi urban suatu negara.

1. "Efek Vortex" (The Vortex Effect)

Memperburuk kesenjangan di negara dengan satu kota super-dominan (monosentris), kereta cepat bertindak seperti 'magnet' yang menyedot talenta dan bisnis dari daerah ke ibu kota.

Korea Selatan adalah contoh paling jelas; studi mengkonfirmasi KTX meningkatkan ketergantungan kota regional pada Seoul.

Jaringan TGV Prancis yang "Paris-sentris" berdampak serupa, mengkonsentrasikan industri jasa di ibu kota. Di Spanyol dan Turki, desain jaringan yang 'radial' juga dinilai memperdalam polarisasi regional.

Model China adalah variasi dari ini, yang berfokus pada 'Penangkapan Nilai Tanah'. Kereta cepat digunakan sebagai alat pembangunan untuk menciptakan aglomerasi, di mana 'laba' proyek diambil dari kenaikan harga tanah di sekitar stasiun baru-yang dilaporkan naik lebih dari 20 kali lipat di beberapa kota perantara.

2."Efek Jaringan" (The Network Effect)

Mendorong integrasi efek sebaliknya terjadi di negara polisentris (banyak kota besar).

Di sini, kereta cepat berhasil mengintegrasikan ekonomi. Jepang adalah contoh sukses; Shinkansen mengintegrasikan tiga hub (Tokyo, Nagoya, Osaka), dan kota perantara seperti Nagoya justru mengalami peningkatan lapangan kerja 11%.

Perusahaan bisa pindah ke lokasi lebih murah namun tetap terhubung. Jerman (ICE) juga berhasil mengintegrasikan pasar tenaga kerja dan memecah dikotomi "inti-pinggiran". Taiwan (THSR) sukses memperkuat hub industri sekunder.

Pada akhirnya, keputusan membangun kereta cepat adalah keputusan politik dan strategis, bukan murni finansial.

Analisis global membuktikan bahwa tanpa desain jaringan yang hati-hati-yang fokus menghubungkan banyak pusat ekonomi (polisentris) alih-alih hanya ke satu ibu kota (monosentris) investasi triliunan rupiah ini berisiko menjadi 'vortex' yang justru memperparah kesenjangan regional.

-

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |