Dr Alpi: Akuntabilitas & Transparansi Kapoldasu Langkah Tepat Terkait Tertembaknya Remaja Belawan

5 hours ago 3
Medan

 Akuntabilitas & Transparansi Kapoldasu Langkah Tepat Terkait Tertembaknya Remaja Belawan Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum. Waspada/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada): Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum mengatakan, akuntabilitas dan transparansi Kapolda Sumut merupakan langkah tepat terkait tertembaknya remaja yang melakukan penyerangan terhadap AKBP Oloan Siahaan.

Peristiwa tersebut, katanya dalam rangka pemeriksaan apakah sesuai dengan SOP penggunaan senjata api dan penanganan massa atau penanganan konflik yang sudah diketahuinya atau bentuk melaksanan perintah jabatan atau pembelaan diri atau keadaan darurat maka hukum pidana telah mengatur hal ini secara tegas.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

“Ada kualifikasi unsur kesalahan yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian. Namun yang jelas hilangnya nyawa salah satu remaja penyerangan akibat tembakan senjata api yang ditembakkan oleh Kapolres Belawan AkBP Oloan Siahaan,” ujar Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum yang pernah menjadi saksi ahli hukum pidana kasus kanjuruhan Malang Jawa Timur.

Dalam kasus Malang tersebut Kabag Ops Kompol Wahyu ditetapkan sebagai tersangka karena tidak mencegah tembakan gas air mata dalam adanya keributan antar supporter sepak bola. Akibat gas air mata dimaksud banyak supporter yang rusuh keluar stadion dan aknirnya banyak yang meninggal dunia

“Konflik dan tawuran antar supporter juga sama seperti peristiwa tawuran Belawan yang terjadi berulang-ulang dan meresahkan masyarakat. Namun terhadap Kabag Ops Polres Malang pada saat itu tidak ada satupun yang mendukung seperti Kapolres Belawan bahwa tindakan yang dilakukan adalah tepat dan tegas walaupun telah menghilangkan nyaw. Padahal tembakan gas air mata dimaksud untuk menghindari korban jiwa karena kerusuhan supporter,” ujarnya.

Dikatakan, penembakan yang dilakukan oleh AKBP Oloan sebagai bentuk tindakan tegas di dalam hukum pidana berada dalam tatanan motif yang merupakan persoalan di luar perbuatan pidana yang didasarkan pada kesalahan yakni sengaja atau culpa (kelalaian).

Motif

Dr Alpi menguraikan, motif dapat dimaknai sebagai dorongan, latar belakang seseorang melakukan sesuatu. Sesudah motif ada yang namanya kehendak atau kemauan untuk melakukan perbuatan tersebut.

“Artinya ada perbedaan antara motif dan kehendak serta kelalaian. Di samping itu, harus dipahami bahwa salah satu bentuk kesalahan itu adalah kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa), yang disyaratkan dalam kesengajaan itu adalah willes end witten yang sama sekali unsur kesengajaan tidak memasukkan motif sebagai syarat dari kesengajaan dalam pemenuhan unsur delik termasuk kelalaian (culpa) berada dalam witten sebatas pada pengetahuan akan akibat terjadi (dolus evantualis/ culpa lata) yang berbeda dengan culpa levis,” paparnya.

Dia menekankan, hal ini harus difahami agar tidak salah memakai jargon “Masyarakat mendukungmu, tindak tegas pelaku kejahatan, negara tidak boleh kalah”. Untuk itu harus dibedakan antara motif dengan motivasi penembakan sehingga tertembaknya remaja yang berkelompok melakukan penyerangan sebagai residu dari tawuran atau mengganggu Kamtibmas.

Di samping itu karakteristik alat juga mempengaruhi dalam motivasi melakukan penyerangan berupa senjata api atau senjata tajam atau alat-alat lainnya. Di dalam hukum pidana sangat tegas meletakkan asas proporsionalitas dan subsidaritas.

Selanjutnya kesalahan dapat dimaknai sebagai kesalahan deskriptif normatif yang diajarkan oleh Pompe yang menjelaskan kesalahan itu pada hakikatnya adalah norma varkreding yakni pelanggaran norma.

DrAlpi mengutip Mulyatno yang mengatakan bahwa melepaskan kesalahan secara psikologis. Hal ini, sambungnya, pertama kali dikatakan dalam pidato pengukuhan Mulyatno sebagai guru besar hukum pidana dalam acara diesnatalis Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1955. “Sejak itu mengubah praktek hukum di Indonesia maupun dari segi teoritik karena deskriptif normatif itu hanya ketika suatu perbuatan memenuhi unsur delik dan perbuatan itu yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang,” tuturnya.

“Deskriptif normatif meletakkan motif itu di luar persoalan perbuatan pidana. Di dalam ajaran kesalahan secara psikologis tentang motif itu sebagai sesuatu yang berada di luar perbuatan pidana. Motif itu dipakai sebagai hal yang meringankan atau memberatkan. Tegasnya motif itu bukan suatu elemen dari perbuatan pidana sehingga pengungkapan motif tidak menjadi prasyarat karena bukan suatu elemen dari perbuatan pidana,” katanya.(m05)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |