Jakarta, CNBC Indonesia - Kebiasaan meninggalkan kartu identitas seperti KTP di meja resepsionis sebelum memasuki gedung masih banyak dijumpai di berbagai tempat. Prosedur ini bahkan sering menjadi syarat wajib bagi pengunjung agar bisa mendapatkan akses masuk.
Namun, Peneliti dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas, menilai praktik tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan data pribadi.
Menurutnya, pengumpulan data yang tidak relevan dengan tujuan utama aktivitas, misalnya hanya untuk masuk ke sebuah gedung.
"Nah, pengumpulan data pribadi yang sebenarnya tidak relevan dengan aktivitas yang kita lakukan, seperti masuk tower, kemudian daftar akun, itu merupakan sebenarnya ketidakpatuhan pengontrolan terhadap prinsip-prinsip perlindungan data pribadi," kata Parasurama kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu, (1/11/2025).
Dia juga menyebut bisa menjadi "pelanggaran" karena ada beberapa prinsip yang tidak terpenuhi. Misalnya tujuan pengumpulan data itu harus terbatas dan relevan.
Pengendali data juga tidak memenuhi unsur keabsahan. Karena data pribadi yang dikumpulkan tidak relevan dan untuk tujuan lain.
Indonesia telah memiliki aturan privasi lewat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sejak 2022. Aturan ini mengatur dengan ketat hak warga RI sebagai pemilik data pribadi serta menetapkan ancaman sanksi bagi perusahaan serta institusi pemerintah yang lalai melindungi data pribadi.
Namun, pelaksanaan UU ini masih tersendat karena pemerintah belum mendirikan badan pengawas perlindungan data pribadi seperti perintah UU. Badan pengawas tersebut seharusnya berdiri 1 tahun sejak UU diterbitkan yang jatuh pada 17 Oktober 2024.
"Kemudian menggunakannya untuk tujuan lain, dan dia juga kehilangan dasar hukumnya untuk melanjutkan atau memproses data-data yang tidak relevan tadi," ujarnya.
Pihak pengelola gedung seharusnya bisa mencari cara selain mengumpulkan KTP atau pemindaian wajah, dalam hal ini cara yang tidak berisiko untuk masyarakat. Termasuk menyediakan opsi agar tidak membatasi aktivitas masyarakat untuk mengakses tempat tersebut.
Parasurama menegaskan privasi harusnya bisa diberikan secara default dan by desain. Perlindungan atas privasi juga harus dilakukan oleh pengelola area-area terbatas, termasuk untuk gedung.
"Nah, itu sebenarnya merupakan bagian dari pelanggaran data, perlindungan data pribadi. Karena ini sama hal dengan platform digital ya, bagaimana kita bisa menikmati platform yang tidak ada ads dengan membayar misalnya gitu," jelas dia.
Dihubungi terpisah, Pakar Keamanan Siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya menjelaskan foto selfie dan KTP bukan alat identifikasi yang diakui menurut Dukcapil.
Terkait keamanannya, Alfons mengatakan bergantung pada pengelolaan datanya. Yakni cara mereka menyimpan data, apakah sudah aman atau tidak.
"Lalu apakah itu aman atau tidak ya tergantung lah pengelola datanya, bagaimana dia menyimpan data itu. Kalau dia tidak menyimpan dengan aman ya kalau data bocor ya selesai juga," kata Alfons.
"Yang tidak selesai juga akan bocor datanya gitu loh. Beserta fotonya, mukanya, selfienya, yang tinggal dikerjain pakai AI kan, dipermak lagi," dia menambahkan.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas Kena Catphishing, Modus Penipuan Baru-Kuras Habis Rekening

4 hours ago
4

















































