Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi:
Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan.
Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik. Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.
Di sini, penulis ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun seri pilot ini kami beri judul: Robohnya Margin Kami. Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.
---
"Sebuah Eulogi untuk Laba yang Dulu Membuat Kami Bangga"
Di layar presentasi itu, angka 18% bersinar terang: Return on Equity: 18%. Seorang CFO tersenyum kecil. Di balik tubuhnya, grafik naik seperti panah yang menembus langit. Tingkat pengembalian terhadap ekuitas tercatat tinggi.
Namun di antara para hadirin yang paham, tidak ada tepuk tangan. Karena kami tahu: RoE bukanlah angka suci. Ia adalah hasil dari tiga perkalian yang bisa memperdaya siapa saja. Dia adalah DuPont Identity:
*RoE = Net Profit Margin × Asset Turnover × Equity Multiplier*
Sebuah identitas sederhana, namun membawa kita ke jantung dilema ekonomi hari ini. Angka RoE itu bisa tinggi karena margin yang sehat, atau karena turnover yang efisien, atau karena leverage yang tinggi.
Setelah dilihat-lihat lebih dalam lagi. Terdapat banyak tren yang menarik, dirasakan oleh pelaku bisnis, tidak disadari oleh pekerja tapi memengaruhi hidup mereka, dan seringkali terlupakan oleh ekonom makro yang hanya berkutat dengan data PDB, inflasi dan nilai tukar.
Dengan ini, saya akan coba perkenalkan analisis ekonomi dengan cara yang tidak biasa, dalam tulisan berjudul 'Robohnya Margin Kami'. Mari kita buka tirai panggung ini, dan untuk awal, mari kita berkenalan dengan tiga orang anak Dupont, dengan karakter yang berbeda.
Ekonomi Tipe 1: Margin Tinggi, Hidup Lambat
Di suatu masa yang samar dalam ingatan kolektif, margin tinggi adalah hal yang wajar, bukan karena siasat pasar, tapi karena hidup memang dijalani dengan pelan. Di dunia ini, perusahaan tidak mengenal leverage, tidak mengincar pertumbuhan dua digit per kuartal, dan tidak mendewakan efisiensi. Mereka berjalan pelan, namun bernilai.
Ia adalah anak sulung DuPont. Tumbuh besar dari ajaran klasik: jual dengan harga wajar, jaga kualitas, jangan berutang kalau tak perlu. Di suatu zaman yang nyaris tak terdengar lagi gaungnya, margin tinggi bukanlah hasil dari manuver finansial, bukan pula dari efisiensi brutal atau skala produksi yang menggila. Ia lahir dari dunia yang belum terdesak untuk mengejar kecepatan. Dunia yang masih menyambut pagi dengan pelan, dan percaya bahwa nilai terbaik butuh waktu.
Perusahaan farmasi lokal yang fokus ke niche produk terapi kanker. Margin bersihnya bisa 30%. Turnover asetnya rendah karena riset mahal dan distribusi lambat. Tapi mereka tidak berutang banyak, karena modal internal cukup untuk ekspansi dan patennya tidak gampang ditiru.
Atau produsen alat musik handmade di Yogyakarta. Tiap gitar dijual ke luar negeri dengan markup besar. Margin tinggi, proses lambat, tapi loyalitas pelanggan luar biasa. Mobil Ferrari yang konon dulu masih menggunakan tangan manusia, pastilah meminta margin yang tinggi.
Inilah mungkin yang para dewa-dewi ilmu ekonomi mengatakan monopolistic competition, di mana terdapat margin yang tinggi untuk mengkompensasi keunikan yang ada untuk setiap produk yang ber-diferensiasi.
Dalam ekonomi tipe ini, perusahaan (atau pengrajin) minim akses ke pasar modal dan bank, mungkin jaman dulu banknya terlalu jauh dan bunga terlalu tinggi. Tak ada pinjaman berbunga rendah. Tak ada venture capital. Tak ada utang jangka pendek.
Maka, satu-satunya cara untuk hidup adalah menjual dengan nilai yang cukup besar sekali, dua kali, tapi bermakna. Barang tak dibuat untuk laku, tapi untuk dipakai, dikenang, bahkan diwariskan. Aku ingat bagaimana Ibu bercerita bahwasanya dulu kakek membawa dia untuk membuat sepatu handmade di Pasar Bukittinggi. Sepatu kuat, tahan bertahan-tahun.
Di dunia ini, manusia belum didefinisikan oleh jam kerja. Ia didefinisikan oleh kerajinan, kesabaran, dan konsistensi menciptakan hal yang tak bisa diulang oleh mesin. Seorang empu keris di Jawa bisa menyelesaikan satu bilah keris dalam 40 hari.
Seorang pembatik tulis butuh berbulan-bulan hanya untuk satu lembar kain. Seorang pengrajin jam di pegunungan Swiss membuat hanya 10 buah dalam setahun. Dan itu cukup, karena harga mereka bukan pada kecepatan, tapi pada keabadian dari detail yang tak bisa ditiru.
Beberapa sektor dalam sejarah dunia memeluk ekonomi tipe ini dengan penuh cinta: Jam tangan Swiss pra-industrialisasi. Tidak ada mesin, hanya ketelitian dan warisan keluarga. Lalu ada keramik Jepang era Mingei.
Mangkok yang tak simetris justru lebih mahal, karena mengandung filsafat wabi-sabi kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan. Ada juga Tailor Savile Row di London, Jas yang dibuat selama empat minggu, bukan karena lambat, tapi karena setiap inci ditakar bukan hanya oleh penggaris, tapi juga oleh sejarah.
Namun kemudian, seorang teman bernama Skala mengetuk pintu. Segalanya berubah saat urgensi untuk 'meningkatkan skala' tiba-tiba muncul. Ada permintaan yang tak bisa dipenuhi oleh tangan. Ada pasar yang tak sabar menunggu.
Lalu datang pertanyaan beracun itu:
"Kalau bisa dibuat satu, kenapa tidak seratus?"
"Kenapa harus mahal, kalau bisa dibuat lebih murah?"
Dunia mulai tergoda oleh kemungkinan produksi massal, investor datang membawa modal dan mimpi pertumbuhan. Manajer profesional mulai menggantikan empu dan pengrajin.
Buku Adam Smith pun muncul terkait sebab musabab kesejahteraan suatu bangsa muncul, dengan salah satu intinya kita harus utamakan division of labor, sehingga produktivitas bisa meningkat jauh dan kesejahteraan lebih tinggi bisa dicapai. Lalu teman kita yang bernama Skala ini mulai mengambil alih dan kita menuju ekonomi tipe kedua.
Ekonomi Tipe 2: Menang Karena Putaran, Bukan Karena Harga
Di suatu titik sejarah, dunia memutuskan bahwa tidak cukup hanya membuat sesuatu yang bernilai. Ia harus dibuat dengan cepat, murah, dan dalam jumlah banyak. Teori Malthus yang menakuti penguasa terkait kesulitan pangan ikut mempercepat perubahan kepada hal ini.
Inilah saat lahirnya Ekonomi Tipe 2 anak tengah dalam model DuPont: Return on Equity tetap tinggi, tapi bukan lagi dari margin besar, melainkan dari perputaran aset yang cepat. Barang tidak lagi dijual mahal, tapi dijual cepat dan banyak. Mesin Masuk, Margin Turun, Tapi Perusahaan Melejit.
Contoh teranyar dalam sejarah adalah Henry Ford dan jalur perakitan mobil Model T memproduksi mobil dalam hitungan menit, bukan hari. Lalu, juga ada Unilever, Procter & Gamble, General Mills yang menciptakan consumer goods dalam volume tinggi, menekan harga sehingga hal-hal yang tadinya canggih dan rumit bisa di konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam dunia ini, unit price ditekan, tapi volume meledak. Asset turnover tinggi. Margin kecil pun tak masalah selama roda terus berputar.
Perusahaan-perusahaan tipe ini mulai hidup dalam logika berikut: Cost per unit turun jika produksi dinaikkan, gross margin kecil tetap menghasilkan net margin besar jika volume masif. Brand dan distribusi menggantikan keterampilan tangan. Dengan kata lain: "Bukan siapa yang membuatnya, tapi seberapa cepat dan banyak ia dibuat."
Manusia dikalahkan oleh mesin. Kerajinan tangan kini disebut lambat dan mahal. Waktu kerja manusia dikalkulasi sebagai biaya tetap yang harus ditekan. Produktivitas bukan soal kualitas, tapi output per jam. Hubungan kerja berubah. Muncul kelas pekerja pabrik dengan jam kerja panjang, penghasilan rendah, alienasi, serta Keterampilan tak lagi bernilai, yang penting bisa menggantikan shift.
Lalu juga terjadi komoditisasi nilai, Ketika Barang Kehilangan Cerita. Dalam Ekonomi Tipe 1, barang memiliki cerita. Dalam Ekonomi Tipe 2, barang adalah fungsi. Sabun bukan lagi simbol kesucian, tapi sekadar pembersih. Pakaian bukan lagi identitas budaya, tapi "produk cepat ganti" dan Makanan bukan lagi upacara, tapi "kebutuhan kalori harian."
Ekonomi Tipe 2 memang menciptakan pertumbuhan luar biasa. Ia memberi kemudahan, akses, dan efisiensi. Tapi dalam prosesnya, ia juga mengganti rasa dengan rasionalitas, nilai dengan volume, dan manusia dengan mesin. Ia menang karena putaran.
Ekonomi Tipe 3: RoE Tetap Tinggi, Tapi Kini Pakai Utang
Setelah dunia berpindah dari nilai (Tipe 1) ke skala dan efisiensi (Tipe 2), ia sampai pada titik berikutnya: Ketika skala membuat beberapa produsen lebih untung dibandingkan lainnya, Uang mulai menumpuk lebih cepat daripada barang.
Tabungan meningkat lebih cepat daripada nilai yang bisa diciptakan dari tangan manusia. Inilah Ekonomi Tipe 3, fase ketika RoE tetap tinggi, tapi bukan lagi dari margin atau turnover, melainkan dari leverage, yakni dari kemampuan menunggangi sistem finansial yang menggelembung oleh surplus tabungan global.
Keberhasilan Ekonomi Tipe 2 menciptakan: Produktivitas massal sehingga biaya turun. Konsumsi massal karena pendapatan naik, lalu Tabungan massal khususnya di negara dengan surplus struktural seperti Jepang, Jerman, dan kemudian China. Sistem moneter pasca-Bretton Woods (dengan dolar sebagai jangkar dan likuiditas global) mengizinkan surplus ini untuk beredar lintas batas.
Hasilnya: Suku bunga turun dalam tren panjang (secular decline). Financial intermediation menjadi tulang punggung sistem kapitalisme baru. Pasar aset mekar, para kapitalis baru tidak lagi kaya dari menumpuk laba ditahan, tapi dari kenaikan nilai aset itu sendiri. Uang tidak lagi menunggu produksi. Ia mencari pertumbuhan, bahkan di tempat yang tidak tumbuh.
Ketika tabungan membanjir, ekonomi tak lagi bertumpu pada efisiensi semata. Ia bertumpu pada siapa yang bisa mengelola dan menyalurkan uang paling cepat dan paling cerdik. Perusahaan tidak lagi besar karena margin atau volume, tapi karena mereka "tahu cara bermain dengan leverage." Selamat datang di dunia private equity, structured finance, dan capital flow. Dan di sini, Perusahaan bukan lagi tempat mencipta barang, tapi tempat "meminjam reputasi masa depan."
Harga aset naik jauh melebihi pertumbuhan output riil. Krisis datang bukan karena margin hancur, tapi karena keyakinan pasar terguncang. BlackRock dan Vanguard menjadi kekuatan penting dengan dana kelolaan trilliunan dollar. Muncul Sangat banyak perusahaan start-up yang menjanjikan pertumbuhan tanpa punya margin dan keuntungan.
Ekonomi Tipe 3 bukan tanpa prestasi. Ia berhasil memonetisasi masa depan. Ia membuat uang "bekerja lebih keras dari manusia." Tapi dalam prosesnya, ia mengikis akar nilai. Ekonomi terus tumbuh, tapi kita tak lagi tahu: tumbuh ke arah mana.
Setelah RoE, Apa Lagi yang Tersisa?
Di ujung perjalanan ini, kita menemukan paradoks: Ekonomi Tipe 1 dihormati karena waktu, Tipe 2 dipuja karena skala, Tipe 3 dimenangkan karena modal. Dan semuanya, pada akhirnya membawa kita menjauh dari diri kita sendiri.
Di Tipe 1, manusia adalah pencipta. Di Tipe 2, manusia menjadi operator. Di Tipe 3, manusia adalah instrumen ekspektasi finansial. Laba tetap ada, RoE tetap tinggi, harga saham tetap tumbuh, Tapi kehidupan terasa asing.
Kita Telah Membuat Ekonomi Hebat, Tapi Dunia Jadi Sunyi. Kita berhasil menaklukkan waktu, mempercepat produksi, mengalirkan modal. Namun kita gagal menjawab: "Untuk siapa semua ini?" Barang jadi murah, tapi nilai jadi tipis. Pertumbuhan jadi cepat, tapi kekosongan makin dalam. Dunia jadi efisien, tapi manusia tak lagi punya tempat.
Kini Kita Berdiri di Persimpangan. Kita bisa terus mendorong RoE, menciptakan produk yang lebih cepat, lebih pintar, lebih terjangkau Tapi pada akhirnya kita harus bertanya: Apakah ekonomi hanya tentang angka yang terus naik, atau tentang kehidupan yang layak untuk dijalani bersama? Apa mungkin memang saat ini, *kita harus mengembalikan Margin, sang anak sulung yang telah terlupakan untuk mengembalikan nilai kita sebagai manusia.* Akhirnya: Kami Tak Lagi Mengejar RoE, Kami Mencari Ruang Nafas.
Karena yang roboh bukan hanya margin. Yang roboh adalah paradigma, tentang apa itu untung, apa itu tumbuh, dan untuk siapa semua ini dibuat.
(miq/miq)