Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh: Muhammad Hatta
Karena pada akhirnya, ukuran hidup bukan pada berapa banyak waktu yang kita habiskan, melainkan pada berapa banyak makna yang kita sematkan di dalamnya.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Kita hidup di zaman di mana semua orang merasa dirinya paling sibuk di dunia. Pagi berkejaran dengan waktu, siang diburu tenggat, malam dikepung notifikasi. Setiap jam seolah terpotong oleh seribu urusan yang saling bertabrakan. Namun jika waktu benar-benar habis, mengapa ada orang yang sempat membaca, menulis, beribadah, berolahraga, dan tetap tersenyum menjalani hidup?
Jawabannya sederhana namun menampar kesadaran kita: tidak ada waktu luang, yang ada hanyalah kemampuan untuk meluangkan waktu.
Waktu, dalam pandangan para filsuf dan ilmuwan, adalah sumber daya yang paling adil sekaligus paling kejam. Setiap manusia diberi jatah yang sama, dua puluh empat jam setiap hari, namun hasilnya berbeda sejauh langit dan bumi. Perbedaan itu bukan pada banyaknya waktu, melainkan pada prioritas dan kesadaran makna dalam menggunakannya.
Orang yang menunggu waktu luang takkan pernah memulai apa pun. Sebab waktu tak pernah benar-benar longgar; ia selalu diisi oleh sesuatu pekerjaan, keinginan, atau sekadar kecemasan. Waktu baru terasa lapang ketika kita memberinya makna. Ketika seorang ayah menyisihkan lima menit untuk mendengar cerita anaknya, itulah waktu yang diluangkan, bukan waktu yang tersisa.
Dalam psikologi modern, hal ini dikenal sebagai intentional living, hidup dengan kesadaran penuh atas apa yang penting. Aktivitas manusia modern sering kali terperangkap dalam “ilusi produktivitas”: sibuk, namun tidak berarti. Kita lupa bahwa produktivitas sejati bukan tentang seberapa banyak yang dilakukan, tetapi seberapa bermakna yang dijalani.
Meluangkan waktu berarti menegaskan kendali diri. Ia adalah pernyataan spiritual bahwa hidup ini bukan milik kesibukan, melainkan milik kesadaran. Di tengah padatnya aktivitas, kita berhak berhenti sejenak, bukan untuk menyerah, tetapi untuk menata arah. Di antara perjalanan karier yang melelahkan, kita dapat kembali mengingat tujuan yang lebih abadi: bahwa bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi menjalani amanah. Sebab sejatinya, waktu yang diluangkan bukan waktu yang hilang, melainkan waktu yang memberi makna.
Begitu pula dalam kehidupan sosial, meluangkan waktu untuk menjenguk tetangga yang sakit, menghadiri pengajian, atau sekadar bersilaturahmi kepada sahabat lama, adalah cara sederhana menjaga kehangatan kemanusiaan. Sebab hubungan antarinsan bukan terpelihara oleh banyaknya pesan yang dikirim, melainkan oleh kehadiran yang diluangkan dengan tulus. Di sanalah letak ibadah sosial yang sering kita abaikan di tengah kesibukan dunia.
Meluangkan waktu sejatinya adalah kemampuan menata diri sebelum menata jadwal. Bukan sekadar urusan kalender dan agenda, tetapi tentang bagaimana hati memilih apa yang benar-benar berarti. Sebab waktu tidak pernah menunggu siapa pun, kitalah yang harus memutuskan untuk hadir, sebelum semuanya berlalu tanpa makna.
Maka mulai hari ini, jangan lagi berkata “saya tidak punya waktu,” sebab waktu bukan sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita isi. Luangkanlah waktu untuk yang berharga, untuk ibadah, keluarga, ilmu, dan kebaikan. Karena pada akhirnya, ukuran hidup bukan pada berapa banyak waktu yang kita habiskan, melainkan pada berapa banyak makna yang kita sematkan di dalamnya.
Penulis adalah Koordinator Humas dan Kerja Sama Politeknik Negeri Lhokseumawe
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































