Analisa 5 Ekonom Ungkap Penyebab Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5%

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 mencapai 4,87% secara year on year (yoy). Dibandingkan kuartal sebelumnya, ekonomi RI ini mengalami kontraksi 0,98%.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 mencapai 4,87%," kata Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025).

Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 ini dimotori oleh konsumsi ekspor dan konsumsi rumah tangga. Kedua sektor ini mencatat pertumbuhan masing-masing sebesar 6,78% dan 4,89% dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 54,53% untuk konsumsi dan 22,30% untuk ekspor.

"Ekspor dan konsumsi rumah tangga tinggi didorong liburan momen Idul Fitri," ujarnya.

Amalia mengakui, bahwa konsumsi memang berkontribusi besar pada ekonomi RI pada kuartal I-2025.

"Komponen pengeluaran yang berkontribusi besar ke PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 54,53% dan tumbuh 4,89%," ujar Amalia.

Namun, jika dibandingkan dengan kuartal IV-2024, konsumsi rumah tangga stagan di posisi 4,89%. Namun jika dibandingkan pada kuartal I-2024, konsumsi rumah tangga pada awal tahun ini lebih tinggi. Pada kuartal I-2024, konsumsi rumah tangga hanya 4,91%. Jika dilihat konsumsi rumah tangga tidak pernah mencapai 5% sejak kuartal III-2023.

Kondisi ini menjadi sorotan utama dari rilis data ekonomi Indonesia pada awal tahun ini. Untuk memahami lebih lanjut mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia, berikut ini paparan 5 ekonom yang dirangkum CNBC Indonesia:

Universitas Paramadina

Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai kinerja ekonomi pada kuartal pertama 2025 menunjukkan penurunan daya beli masyarakat yang sudah muncul sejak pertengahan 2024 masih terus berlanjut. Latar belakang dari masalah tersebut adalah deindustrialisasi yang belum berhasil diselesaikan.

"Trump trade war berpotensi membuat situasi di masa mendatang semakin menantang. Singkatnya, kita mempunyai tantangan domestik dan struktural," ujar Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Selasa (6/5/2025).

Tantangan RI saat ini dinilai Wijayanto bersifat struktural yang diperburuk dengan kebijakan yang bukan merupakan solusi dan seringkali justru memperburuk keadaan. Kondisi birokrasi yang tidak efisien memperburuk situasi.

"Situasi ini menjadi semakin menantang akibat kondisi geopolitik-ekonomi global yang semakin dinamis," ujarnya.

Dalam jangka pendek, ia menilai pemerintah perlu kalibrasi program besar mahal dan berjangka panjang, seperti MBG, 3 Juta Rumah, IKN, Koperasi Merah Putih dan GSW.

Sumberdaya dan dana perlu dialokasikan lebih untuk program jangka pendek yang berdampak langsung bagi penciptaan lapangah kerja dan mendongkrak daya beli.

"Penghapusan blokir oleh Kemenkeu sudah tepat, walaupun terkesan terlambat," ujarnya.

Celios

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025 merupakan yang terendah sejak triwulan III 2021 yang saat itu hanya tumbuh 3,53%. Situasi ekonomi saat ini bukan sedang tertekan akibat pandemi, namun laju pertumbuhan hampir sama dengan masa pandemi.

Menurutnya, adanya gejala resesi teknikal pada triwulan berikutnya.

"Jika dibandingkan per kuartal, angka nya cukup mengkhawatirkan. Pertumbuhan triwulan I 2025 minus 0,98% terendah dibandingkan periode yang sama sejak 5 tahun terakhir. Sektor industri pengolahan yang tertekan menjadi sinyal berlanjutnya tekanan ekonomi. Skenario resesi teknikal harus dihindari," ujar Bhima dalam keterangan resmi dikutip Selasa (6/5/2025).

Bhima menilai Indikator Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang berada di bawah level ekspansi atau 46,7 pada April 2025 perlu jadi perhatian pemerintah.

Tekanan akibat adanya perang dagang hanya salah satu faktor pemicu industri berada dibawah kapasitas optimalnya.

"Tapi di dalam negeri, efek industri melemah ibarat lingkaran setan (vicious cycle), menciptakan pelemahan daya beli lebih dalam berujung pada menurunnya permintaan produk industri," ujarnya.

Maka dari itu, ia menilai pemerintah wajib meningkatkan daya beli masyarakat melalui program-program yang sifatnya fiskal ekspansif seperti pembagian bantuan sosial terutama bagi kelompok menengah dan rentan.

"Mau pakai data BPS atau Bank Dunia, pada prinsipnya pemerintah belum serius memberikan perlindungan bagi kelas menengah, rentan, maupun miskin. Apalagi pekerja informal kedepan semakin besar porsinya karena gelombang PHK di sektor formal, dan mereka butuh jaring pengaman sosial yang lebih memadai," ujarnya.

Bank Maybank Indonesia

Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia turun dari 5,02% secaratahunan pada kuartal keempat 2024 menjadi 4,87% pada kuartal pertama 2025 seiring dengan melambatnya aktivitas investasi dan belanja pemerintah yang anjlok dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Belanja pada musim puncak saat Lebaran masih belum mampu menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di level di atas 5%.

"Hal ini tentu menjadi sinyal bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih agresif agar sejalan dengan target pemerintah sebesar 5,2% pada tahun 2025," ujar Myrdal kepada CNBC Indonesia, Selasa (6/5/2025).

Maka dari itu, Myrdal menilai pemerintah harus segera mengakselerasi belanja program pembangunan prioritas yakni, Asta Cita untuk menciptakan multiplier effect bagi perekonomian Indonesia.

Tak hanya itu, investasi yang difokuskan pada program hilirisasi juga harus diperkuat.

"Kemudian, negosiasi terkait kegiatan perdagangan internasional di era perang dagang juga harus tepat sasaran agar Indonesia terhindar dari dampak negatif perang dagang. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia (Baseline Forecast) berada pada angka 4,95% pada tahun 2025," ujarnya.

Bank Mandiri

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro sektor manufaktur Indonesia mengalami pertumbuhan yang lebih lambat sebesar 4,55% pada triwulan I 2025. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kualitas ketenagakerjaan, karena PHK baru-baru ini mungkin telah mengalihkan pekerja dari pekerjaan formal ke informal, yang menyebabkan pekerjaan menjadi kurang berkelanjutan.

Dengan adanya pelemahan pada sektor manufaktur, ia menilai hal tersebut juga berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga. Seperti yang diketahui, pada kuartal pertama 2025 terdapat momen bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Kendati demikian, konsumsi rumah tangga melambat menjadi 4,89% pada kuartal I-2025.

"Periode Lebaran secara historis memberikan dorongan positif bagi konsumsi rumah tangga, dengan pertumbuhan rata-rata 5,07% yoy (2015-19, 2023-2025), tren terkini menunjukkan pelemahan. Pada triwulan I 2025, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 4,89%, turun di bawah rata-rata historis untuk triwulan Idul Fitri," ujar Andry dalam keterangan resminya dikutip Selasa (6/5/2025).

Mengingat indikasi melemahnya momentum ekonomi, Andry menilai ada kebutuhan kuat untuk realisasi fiskal yang lebih cepat guna memberikan dukungan bagi perekonomian. Mulai kuartal kedua 2025, alokasi anggaran yang sebelumnya tertunda diharapkan dapat dilanjutkan, yang seharusnya memberikan dukungan baru bagi perekonomian.

Dari sisi global, pola perdaganganl diperkirakan akan bergeser tahun ini karena tarif impor AS yang agresif. Karena ekspor ke AS kemungkinan akan mendapat tekanan dari tarif yang lebih tinggi, Indonesia perlu mencari pasar baru dan memanfaatkan keanggotaannya di ASEAN dan BRICS.

"Kemampuan Indonesia untuk beradaptasi dengan cepat terhadap pergeseran global ini akan menjadi faktor penting dalam mempertahankan kinerja perdagangan sepanjang tahun 2025," ujarnya.

Bank BCA

Head of Macroeconomic Research Bank BCA, Barra Kukuh Mamia menjelaskan pertumbuhan impor melambat pada kuartal pertama terutama disebabkan oleh penghentian impor beberapa bahan pangan.

Tak hanya itu, melemahnya permintaan barang konsumsi impor, terutama dibandingkan musim Ramadan/Lebaran tahun lalu.

"Penurunan sepihak ini menyebabkan ekspor neto menjadi kontributor positif terhadap pertumbuhan, setelah dikurangi pertumbuhan pada kuartal sebelumnya," ujar Barra dalam risetnya dikutip Selasa (6/5/2025).

Dari sisi belanja pemerintah, mengalami penurunan 1,38% dibandingkan tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh efisiensi APBN dan belanja pemerintah saat pemilu tahun lalu yang menyebabkan penurunan belanja pada tahun ini.

"Kabar baiknya adalah tren ini akan berbalik pada kuartal kedua, karena pemerintah sekarang mempercepat program-programnya dan Kementerian Keuangan telah melonggarkan batasan belanja," ujarnya.

Barra menilai dengan adanya ketidakpastian global dan perang dagang antara China dan AS menjadi kesempatan untuk indonesia. Yakni membuat perusahaan-perusahaan global ingin memindahkan pabrik dari kedua negara tersebut ke Indonesia. Namun, hal tersebut perlu kerjasama lintas sektor untuk meyakini para investor.

"Satu pendorong yang benar-benar positif, seperti yang telah kita catat, adalah potensi relokasi manufaktur; tetapi memanfaatkan peluang ini akan membutuhkan upaya bersama untuk merayu dan memfasilitasi investor," tegas Barra.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Ekonomi RI Melambat, Tersandung Belanja Pemerintah?

Next Article Semua Menjerit, Daya Beli Warga RI Ambruk!

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |