Di Tengah Perang Dagang: Pilih Investasi Bertahan Apa Menyerang?

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Laporan terbaru dari DBS Group Research menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 tetap berada di jalur pertumbuhan yang stabil meski dihadapkan pada tekanan fiskal dan gejolak global.

Dalam publikasi berjudul "Tren Ekonomi Indonesia di Kuartal Pertama 2025: Antara Dorongan Pertumbuhan dan Tantangan Fiskal", DBS mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1% secara tahunan, sedikit lebih tinggi dibanding realisasi 5,03% pada 2024.

Pendorong utama pertumbuhan pada paruh awal tahun berasal dari konsumsi masyarakat selama periode Ramadan dan Idul Fitri, ditambah dengan kebijakan pemerintah yang mendukung daya beli, seperti kenaikan upah minimum dan berbagai insentif kesejahteraan. Namun, pemangkasan belanja negara sebesar Rp307 triliun serta tingginya basis perbandingan dari tahun pemilu menjadi tantangan yang membatasi ekspansi ekonomi lebih lanjut.

Sementara Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) sama-sama merevisi ke bawah outlook atau proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.

Bagi World Bank, geliat aktivitas ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan tumbuh sebesar 4,7%, lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yang mencapai 5,1% dan realisasi pertumbuhan pada 2024 sebesar 5%.

Tekanan terhadap ekonomi Indonesia ini mereka perkirakan utamanya disebabkan efek perang dagang global. Perang dagang itu menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan dan melemahkan harga-harga komoditas, sehingga memperlambat aktivitas investasi maupun ekspor.

Sorotan penting lainnya adalah penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) secara tahunan atau deflasi 0,1% pada Februari 2025, angka negatif pertama dalam lebih dari dua dekade.

Penurunan tersebut sebagian besar dipicu oleh faktor penawaran, termasuk berakhirnya subsidi listrik dan penurunan harga energi. Meski demikian, inflasi inti tetap berada di level 2,5%, mencerminkan stabilitas permintaan domestik. Berdasarkan perkembangan ini, DBS merevisi proyeksi inflasi tahunan Indonesia untuk 2025 menjadi 1,2% dari sebelumnya 2,2%.

Namun demikian, data terakhir per Maret 2025, IHK Indonesia telah kembali melesat dan terpantau inflasi 1,65% mtm. Secara year on year inflasi 1,03%.

Hal ini dipicu oleh kenaikan permintaan selama Ramadan dan seiring pencairan Tunjangan Hari Raya (THR), serta ketiadaan diskon tarif listrik 50% dari pemerintah yang telah usai di Februari 2025 lalu, meskipun ada diskon tarif tol dan tiket pesawat. Faktor-faktor ini menyebabkan kenaikan inflasi yang cenderung mencerminkan peningkatan permintaan selama Ramadan.

Untuk diketahui, diskon tarif listrik 50% telah berlaku pada Januari 2025 hingga 28 Februari 2025, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan tidak akan melanjutkan program diskon tarif listrik 50% bagi pelanggan listrik PT PLN (Persero).

Dari sisi kebijakan, Bank Indonesia (BI) disebut tengah mempertimbangkan penurunan suku bunga untuk merespons tren deflasi beberapa bulan lalu, meski tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih membayangi. Di sisi fiskal, defisit anggaran 2025 diperkirakan melebar akan melebar, didorong oleh peningkatan belanja sosial dan tertundanya kenaikan tarif PPN secara menyeluruh.

Dalam laporan terpisah, DBS melalui Chief Investment Officer Hou Wey Fook merilis panduan investasi untuk kuartal kedua 2025 dengan tajuk "Bertahan di Tengah Badai Tarif".

Laporan ini menyoroti dampak dari kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump dan meningkatnya ketidakpastian geopolitik global. DBS menyarankan investor untuk mengalihkan sebagian alokasi dari saham AS ke saham Eropa dan Asia (di luar Jepang), mengingat prospek pertumbuhan dari sektor pertahanan Eropa dan teknologi China.

Untuk aset pendapatan tetap, DBS mempertahankan posisi overweight terhadap obligasi investment grade dengan durasi menengah hingga panjang, sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi pemangkasan suku bunga lanjutan.

Emas juga disebut sebagai pemenang besar dalam skenario "Trump 2.0", karena meningkatnya permintaan terhadap aset lindung nilai. DBS juga merekomendasikan eksposur pada aset privat sebagai alternatif yang menjanjikan di tengah valuasi pasar publik yang tidak pasti.

Faktor lain yang dinilai penting dalam lanskap investasi tahun ini adalah perkembangan kecerdasan buatan. Kemunculan model AI murah dan kompetitif seperti DeepSeek telah memicu penurunan harga saham Big Tech dan mempercepat adopsi teknologi secara luas. DBS menilai bahwa meski menimbulkan volatilitas jangka pendek, tren ini akan mendorong pertumbuhan jangka panjang dan membuka peluang investasi baru, terutama di sektor teknologi.

Dengan kombinasi tekanan domestik dan global, DBS menekankan pentingnya strategi investasi yang seimbang, terdiversifikasi, dan berbasis jangka panjang. Investor disarankan untuk tetap fleksibel dan waspada dalam mengelola portofolio di tengah dinamika ekonomi dan pasar yang terus berkembang.

Berikut adalah imbauan taktis dari DBS CIO untuk kuartal ini:

1. Lintas Aset - Obligasi tetap menjadi pilihan di tengah meningkatnya ketidakpastian

2. Saham - Diversifikasi di luar S&P 500; cari peluang di Eropa yang sedang bangkit

3. Obligasi - Ketakutan akan tarif memicu arus ke aset safe haven; tetap overweight pada obligasi

Pada kuartal sebelumnya, DBS CIO memperingatkan bahwa ekspektasi kenaikan imbal hasil obligasi di bawah Trump 2.0 mungkin tidak sepenuhnya terjadi, mengingat pemerintahan baru perlu menaikkan tarif untuk sebagian membiayai pemotongan pajaknya. Dampak ekonomi dari perang dagang global akhirnya menekan imbal hasil obligasi-dan itulah yang kini terjadi.

4. Aset Alternatif - Emas: pemenang besar di bawah Trump 2.0; aset privat: peluang menarik

Emas tetap diuntungkan dalam skenario Trump 2.0, apa pun yang terjadi.

Alokasi aset menurut DBSFoto: DBS
Alokasi aset menurut DBS

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |