Mes Kupaleh, Benteng Rakyat yang Terancam, Ketika Warisan Pidie Hendak Diklaim Pribadi

4 hours ago 1
AcehBudaya

26 Oktober 202526 Oktober 2025

Mes Kupaleh, Benteng Rakyat yang Terancam, Ketika Warisan Pidie Hendak Diklaim Pribadi Inilah bangunan Mes Kupaleh (Benteng Kuta Asan) yang terancam dijadikan milik pribadi. Bangunan ini bersebelahan dengan Stadion Kuta Asan, Sigli, Kabupaten Pidie,Minggu (26/10) Waspada.id/Muhammad Riza

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Di tepi pesisir Selat Malaka, di antara desir angin laut dan deru kendaraan yang melintas di Sigli, Kabupaten Pidie, tidak jauh dari Stadion Kuta Asan, berdiri sisa-sisa batu tua yang diam, namun penuh cerita.

Benteng Kuta Asan (Mes Kupaleh-red) bukan sekadar tumpukan batu berserakan di tanah berlumut. Ia adalah saksi, penjaga sunyi atas kisah panjang keberanian rakyat Pidie menghadapi serbuan bangsa asing berabad silam.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Namun kini, suara lain datang menggema di sekitar reruntuhan yang sekarang telah dibangun Mes Kupaleh. Bukan lagi dentuman meriam atau pekik perlawanan, melainkan bisik-bisik tentang klaim pribadi. Ada kabar, seseorang atau sekelompok orang hendak menandai tanah warisan perjuangan itu atas nama kepentingan sendiri.

“Benteng ini bukan milik satu orang. Ia milik rakyat,” ucap Usman, tokoh muda Pidie, dengan nada yang tegas tapi getir. “Dari sini dulu para leluhur kita menolak tunduk pada Portugis dan Belanda. Tidak pantas kalau sekarang ada yang menjadikannya hak pribadi,” tuturnya tegas.

Jejak di Batu, Ingatan di Darah

Benteng Kuta Asan dibangun oleh rakyat Peudir(sekarang disebut Pidie-red), pada masa gelombang ekspansi Portugis mengancam pantai utara Aceh. Dindingnya yang tebal menatap laut, seolah menantang ombak sekaligus menahan langkah penjajah.

Ketika Belanda datang menggantikan Portugis, benteng itu kembali menjadi perisai. Di antara bebatuan dan parit-parit tua, tersimpan napas perjuangan yang tidak mudah dipadamkan. Kini, setelah ratusan tahun, yang hendak menaklukkan bukan lagi bangsa asing, melainkan keserakahan dari dalam negeri sendiri.

Desakan dari Tanah Peudir

Warga menolak diam. Mereka mendesak pemerintah daerah dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) turun tangan, memastikan benteng dan kawasan sekitarnya tetap menjadi milik publik, bukan halaman pribadi siapa pun.

“Kami tidak butuh janji,” kata Amir, warga Sigli yang ditemui di sekitar lokasi. “Kami butuh tindakan. Jangan biarkan sejarah kami dihapus, hanya karena ada orang yang melihatnya sebagai lahan, bukan warisan.” tegasnya.

Bagi warga Pidie, benteng itu adalah sumbu identitas, pengingat bahwa tanah mereka pernah dibasahi keringat dan darah pejuang. Mengubahnya menjadi milik pribadi sama saja dengan memutus ingatan bangsa.

Potensi yang Tak Sekadar Ekonomi

Di balik nilai historisnya, benteng Kuta Asan (Kupaleh-red) menyimpan potensi besar sebagai pusat edukasi dan wisata sejarah. Dengan pengelolaan yang bijak, tempat ini bisa menjadi ruang belajar generasi muda tentang perlawanan, keberanian, dan cinta tanah air.

“Benteng ini seharusnya jadi tempat anak-anak sekolah datang, mendengar cerita leluhurnya,” ujar Amir lagi. “Bukan dijadikan pagar tinggi yang menutup pandangan orang.” katanya.

Benteng untuk Semua

Senja turun di atas Sigli. Cahaya jingga menimpa batu-batu tua yang kian retak dimakan waktu. Di sela-selanya tumbuh rumput liar, tetapi juga harapan yang sama liarnya, bahwa rakyat masih peduli.

Sebab benteng itu berdiri bukan untuk satu orang, melainkan untuk seluruh rakyat yang pernah berjuang.

Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |