MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 pada Minggu(26/10/2025) menyoroti pemimpin di kota ini. Pemimpin Medan sibuk gaya lupa kerja. Begitu disampaikannya.
Dalam paparannya, Farid Wajdi menyebutkan, Kota Medan hari ini bukan hanya menghadapi jalan berlubang dan drainase buruk—tetapi krisis moral dalam kepemimpinan.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Di balik aspal yang retak dan genangan air yang tak kunjung surut, sesungguhnya tersimpan keretakan yang jauh lebih dalam: hilangnya tanggung jawab dan mandat kepercayaan publik.
Di berbagai kawasan seperti Medan Tembung, Mabar Hilir, hingga Marelan, warga hidup dalam rutinitas genangan air, jalan rusak, dan tumpukan sampah yang semakin menyesakkan. Banjir bukan lagi bencana alam, melainkan bencana tata kelola. Drainase tersumbat adalah simbol tersumbatnya nurani birokrasi.
Dan tumpukan sampah itu—yang dibiarkan menumpuk berhari-hari—adalah cermin dari kepemimpinan yang lebih suka menimbun masalah ketimbang menuntaskannya.
Padahal, setiap lubang di jalan dan setiap meter kubik sampah itu dibayar dengan uang pajak rakyat.
Setiap warga yang membayar pajak bumi, bangunan, kendaraan, dan retribusi daerah punya hak moral dan hukum untuk menuntut pelayanan publik yang layak.
Ketika infrastruktur runtuh dan lingkungan kotor, yang sesungguhnya hancur bukan hanya fisik kota, tetapi juga kontrak sosial antara warga dan pemerintahnya.
Wali Kota Medan seharusnya menjadi nakhoda yang menavigasi kota keluar dari kemacetan kebijakan dan banjir ketidakpedulian. Namun, yang tampak adalah kepemimpinan yang kehilangan arah dan rasa urgensi.
Pemerintahan kota lebih sibuk memoles citra dan memburu pujian digital ketimbang membangun sistem pengelolaan yang efisien dan berkeadilan. Ia hadir di spanduk dan baliho, tapi absen di parit dan pemukiman warga yang terendam.
Melanggar Kontrak dan Autopilot Birokrasi
Kepemimpinan tanpa empati semacam ini bukan sekadar lemah—ia berbahaya.
Sebab, ketika pemimpin mulai menganggap keluhan publik sebagai gangguan, saat itulah kota kehilangan rohnya. Pemerintahan berubah menjadi ritual administratif tanpa jiwa pelayanan.
Kota tidak lagi dikelola, melainkan dibiarkan berjalan dengan autopilot birokrasi yang tak peduli arah.
Namun, kegagalan ini bukan monopoli eksekutif semata. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang semestinya menjadi corong aspirasi rakyat, justru menjadi gema hampa yang hanya memantulkan kepentingan politik jangka pendek.
Legislator yang mestinya mengawasi penggunaan anggaran justru tenggelam dalam kenyamanan politik transaksional.
Tali mandat yang menghubungkan rakyat dan wakilnya telah putus di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah formalitas demokrasi tanpa substansi pengawasan.
Ketika rakyat membayar pajak, mereka sejatinya membeli hak untuk hidup dalam kota yang aman, bersih, dan tertata.
Pajak adalah kontrak sosial: rakyat menyerahkan sebagian penghasilannya dengan keyakinan negara akan mengembalikannya dalam bentuk layanan publik. Tapi di Medan, kontrak itu dilanggar secara terang-terangan.
Warga membayar, pemerintah menelantarkan; rakyat menagih, pemimpin berkilah. Dalam situasi seperti ini, diam adalah bentuk kolusi. Warga Medan harus sadar hak mereka bukanlah belas kasihan dari pejabat, tetapi kewajiban negara.
Pajak yang dibayar setiap bulan adalah bentuk kepercayaan, bukan sedekah. Dan ketika kepercayaan itu dikhianati, rakyat berhak menggugat, secara moral, politik, bahkan hukum.
Kota ini tidak akan berubah oleh pidato, tetapi oleh tekanan publik yang konsisten.
Warga Medan harus mulai menuntut transparansi penggunaan pajak, meminta audit terbuka terhadap proyek-proyek infrastruktur, dan menolak setiap pembenaran yang menutup-nutupi ketidakmampuan birokrasi. Sebab kota ini tidak rusak karena kurang dana, melainkan karena kepemimpinan yang kehilangan malu dan legislatif yang kehilangan nurani.
Saat pejabat menganggap uang publik sebagai milik pribadi, maka perlawanan moral warga adalah satu-satunya cara untuk merebut kembali hak atas kota yang layak dihuni. Medan tidak kekurangan uang. Yang hilang adalah keberanian untuk bertanggung jawab.(id18)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.



















































