Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025, pemerintah Indonesia telah memberlakukan kebijakan kenaikan royalti atas produk pertambangan nikel, yang mulai efektif sejak 26 April 2025. Kebijakan ini merupakan pembaruan dari regulasi sebelumnya, yaitu PP No. 26 Tahun 2022.
Dalam regulasi baru ini, tarif royalti untuk bijih nikel meningkat dari 10% menjadi 14%-19%, Nikel Matte dari 2%-3% menjadi 3,5%-5,5%, Ferro-nikel (FeNi) dari 2% menjadi 4%-6%, dan Nickel Pig Iron (NPI) dari 5% menjadi 5%-7%.
Sistem royalti yang diterapkan kini menggunakan struktur progresif, di mana tarif disesuaikan berdasarkan Harga Mineral Acuan (HMA) nasional yang mengikuti tren harga pasar global. Artinya, tarif royalti akan bergerak naik atau turun dalam kisaran tertentu, tergantung pada pergerakan harga nikel.
Kebijakan ini diklaim bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari sektor pertambangan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama setelah harga nikel mengalami penurunan dan menyebabkan PNBP menyusut sebesar 10,55% pada tahun 2024.
Penerimaan tambahan dari kebijakan ini direncanakan akan disalurkan ke sektor energi berkelanjutan dan Energi Baru Terbarukan (EBT), termasuk untuk mendukung subsidi, riset, dan pembangunan infrastruktur hijau.
Selain itu, kenaikan royalti ini juga ditujukan untuk meningkatkan penerimaan dari produk hilir seperti matte dan ferro-nikel, yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Dengan mengaitkan pada pergerakan harga nikel global, kebijakan ini diklaim dapat memperkuat stabilitas fiskal negara, dalam pengertian dapat menghasilkan keuntungan lebih saat harga tinggi, dan mengurangi tekanan fiskal saat harga menurun.
Secara tidak langsung, kebijakan ini juga ditujukan memberikan disinsentif terhadap ketergantungan ekspor produk nikel Kelas 2, terutama NPI dan FeNi yang diproses melalui Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), dan memberikan insentif pada investasi dan proyek pengolahan lanjut nikel Kelas 1 bernilai lebih tinggi seperti nikel sulfat.
Industri Nikel Indonesia
Pada tahun 2024, Indonesia mempertahankan dominasinya dalam pasokan nikel global dengan kontribusi sekitar 60% dari produksi dunia, utamanya melalui ekstraksi bijih laterit. Volume produksi nikel Indonesia meningkat sekitar 10% dibanding tahun sebelumnya, mencapai 1,5 juta ton.
Kenaikan ini didorong oleh produksi produk Kelas 2 seperti feronikel dan NPI. Produk Kelas 2 ini dapat diolah lebih lanjut menjadi produk intermediate seperti matte nikel, Mixed Sulphide Precipitate (MSP), dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), yang merupakan langkah penting menuju produksi nikel sulfat berkualitas baterai.
Dengan masuknya investasi besar dari China, Indonesia kini mampu mengolah produk Kelas 2 menjadi intermediate yang dapat dikonversi menjadi produk Kelas 1 seperti nikel sulfat dan nikel murni yang dapat diterima di bursa internasional seperti London Metal Exchange (LME) dan Shanghai Future Exchange (SHFE).
Walaupun pengolahan akhir seperti produksi baterai masih didominasi oleh Cina, pertumbuhan kapasitas dari Indonesia telah melampaui laju permintaan, yang turut mendorong koreksi harga nikel sejak 2023. Sepanjang 2025, harga nikel bergerak dalam kisaran USD 14.150 hingga USD 16.720 per ton.
Sebagai respons terhadap harga yang lemah dan pasokan berlebih, sejumlah produsen midstream utama mulai memangkas produksi NPI untuk menjaga kualitas bijih dan mengantisipasi keterbatasan sumber daya jangka panjang.
Pemerintah juga telah menetapkan kuota pertambangan sebesar 200 juta ton, lebih rendah dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menerapkan moratorium terhadap proyek baru berbasis RKEF, untuk mengalihkan fokus dari produksi Kelas 2 berbasis batu bara menuju proyek Kelas 1 bernilai tambah lebih tinggi.
Meski Indonesia telah berupaya naik kelas dalam rantai pasok global, perannya relatif masih terpusat pada segmen hulu dan midstream, yakni penambangan dan pengolahan menjadi produk Kelas 2 dan intermediate. Indonesia saat ini lebih berperan sebagai tuan rumah produksi, bukan pengendali rantai nilai, karena masih adanya keterbatasan teknologi pengolahan, kapasitas kimia, serta tantangan dalam memenuhi standar lingkungan dan tata kelola sosial.
Transformasi Industri Nikel
Kebijakan kenaikan royalti salah satunya mencerminkan adanya upaya pergeseran fokus pemerintah dan industri dari ekspor massal Kelas 2 ke arah produksi Kelas 1 yang lebih strategis dan bernilai tinggi. Harapannya, langkah ini dapat menekan kelebihan pasokan, mendorong efisiensi, serta membantu harga nikel pulih.
Penerapan tarif royalti pada produk matte dan ferro-nikel tentu saja akan berdampak signifikan pada smelter dan penambang, khususnya yang memiliki struktur biaya tinggi. Saat ini, sektor pertambangan menghadapi setidaknya 13 kewajiban fiskal dan non-fiskal, termasuk PNBP, PPN, Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan biaya reklamasi.
Kenaikan royalti akan menambah beban keuangan di luar biaya operasional, emisi karbon, dan pajak. Dengan sistem tarif progresif, perusahaan akan menanggung biaya lebih tinggi ketika harga nikel naik, yang berpotensi mengurangi margin keuntungan.
Meskipun biaya produksi nikel secara umum menurun pada 2024, proporsi biaya royalti justru meningkat seiring dengan kenaikan biaya treatment and refining (TR/RC). Biaya tenaga kerja dan energi relatif stabil, menjadikan royalti sebagai komponen penentu efisiensi biaya. Risiko lain, bagi pemerintah adalah apabila harga tetap rendah dan volume ekspor menurun, maka PNBP tetap berisiko ikut menurun meskipun tarif royalti secara nominal meningkat.
Secara ringkas, dalam jangka pendek, kebijakan tarif royalti progresif ini diperkirakan akan meningkatkan biaya yang ditanggung oleh pelaku tambang. Ini berisiko menurunkan minat investasi di sektor nikel karena dinilai kurang menarik secara ekonomi. Dengan demikian juga berpotensi mengurangi minat investasi baru dan menekan daya saing industri nikel nasional.
Namun jika dijalankan secara konsisten dan didukung kebijakan lain dan insentif yang tepat, kebijakan tarif royalti progresif ini sejatinya dapat menjadi titik awal perbaikan struktur industri nikel Indonesia menuju arah yang lebih berkelanjutan dan strategis. Di jangka panjang, kebijakan ini pada gilirannya juga dapat mendorong efisiensi operasional dan percepatan adopsi teknologi pengolahan yang lebih canggih.
Langkah diplomasi perdagangan internasional juga diperlukan untuk melengkapi kebijakan tarif royalti progresif ini. Sebagaimana belakangan ini hal itu sudah mulai dilakukan. Salah satunya adalah melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan Prancis terkait mineral kritis dan pentingnya transisi energi.
Dalam kesepakatan tersebut, kedua negara menegaskan kembali komitmen mereka untuk memperkuat industri hilirisasi, mendorong praktik pertambangan yang berkelanjutan, serta mengembangkan kerangka kebijakan yang menjunjung tinggi prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam aktivitas penambangan dan pengolahan mineral kritis.
Dengan kerja sama ini, Indonesia berpotensi memperoleh limpahan pengetahuan dan teknologi (spillover knowledge and technology) yang dibutuhkan untuk mempercepat transformasi industri nikel menuju arah yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing global.
(miq/miq)