Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia bawah tanah Jepang kini sedang mengalami guncangan hebat seiring munculnya kelompok kriminal generasi baru yang dikenal dengan sebutan "Tokuryu". Berbeda dengan sindikat Yakuza tradisional yang terikat aturan ketat dan kode kehormatan, kelompok pendatang baru ini beroperasi layaknya perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi yang kejam dan anonim.
Kemunculan Tokuryu telah memicu lonjakan angka penipuan dan perampokan di seantero Jepang, dengan nilai kerugian mencapai puluhan miliar yen. Polisi Tokyo kini menetapkan kelompok ini sebagai "prioritas utama ketertiban umum" dan telah membentuk satuan tugas khusus berisi 100 perwira untuk menghancurkan jaringan yang bergerak secara cair seperti amuba ini.
Takanori Kuzuoka (28), seorang mantan perekrut Tokuryu yang kini mendekam di penjara, memberikan kesaksian langka melalui surat tulisan tangan kepada AFP. Ia menjelaskan bahwa generasi milenial dan Gen Z Jepang kini lebih memilih bergabung dengan Tokuryu karena tidak ingin terikat oleh hierarki Yakuza yang kaku.
"Setiap hari, tak terhitung banyaknya orang yang memakan umpan iklan 'pekerjaan bergaji tinggi' yang saya unggah di platform X," tulis Kuzuoka.
Para eksekutor di lapangan sering kali merupakan warga sipil biasa yang terjerat utang atau kesulitan ekonomi, mulai dari pekerja seks, pecandu judi, hingga mantan anggota boy band. Mereka direkrut untuk melakukan "yami baito" atau kerja paruh waktu di pasar gelap.
Berbeda dengan Yakuza yang secara tradisional mengklaim memiliki "kode ksatria" (ninkyo) untuk tidak menindas yang lemah, Tokuryu tidak memiliki batasan moral tersebut. Kejahatan utama mereka adalah penipuan terorganisir yang menyasar populasi lansia Jepang yang melimpah.
Modus yang paling umum adalah penipuan "Ini Aku!", di mana pelaku menelepon lansia dengan menyamar sebagai anak atau cucu yang sedang tertimpa masalah memalukan dan memohon kiriman uang. Antara Januari hingga Juli tahun ini, penipuan semacam ini telah merugikan warga Jepang sebesar 72,2 miliar yen (sekitar US$474 juta atau Rp7,4 triliun).
Yakuza yang Kian Meredup
Di sisi lain, kekaisaran Yakuza yang bernilai miliaran dolar terus menyusut. Berdasarkan data kepolisian, jumlah anggota Yakuza mencapai rekor terendah yaitu 18.800 orang pada tahun lalu, turun hampir 80 persen sejak diberlakukannya undang-undang anti-gangster tahun 1992.
"Anak muda sekarang tidak mau mulai dari bawah dan merangkak naik," ujar seorang petinggi Yakuza senior kepada AFP. Aturan ketat tahun 2011 yang melarang anggota Yakuza membuka rekening bank, menyewa rumah, atau memiliki kontrak ponsel membuat dunia gangster tradisional kehilangan daya tariknya.
Meski secara ideologis berseberangan, polisi mendeteksi adanya kerja sama antara "pemain lama" dan "pemain baru". Tokuryu yang memiliki banyak uang namun kurang dalam hal perlindungan fisik, terkadang menyetorkan sebagian hasil kejahatannya kepada Yakuza. Sebagai imbalannya, Yakuza memberikan "otot" atau perlindungan agar pemimpin Tokuryu tidak diganggu oleh pihak lain.
Seorang pengacara untuk Yamaguchi-gumi, faksi Yakuza terbesar, mengakui bahwa beberapa anggota Yakuza tingkat rendah terpaksa ikut melakukan penipuan karena kesulitan ekonomi.
"Mencari uang dengan menipu orang bukanlah hal yang seharusnya dilakukan Yakuza, tapi kesempatan bisnis bagi mereka kini sangat langka," ujarnya.
Pemerintah Jepang kini berpacu dengan waktu untuk memutus rantai rekrutmen daring ini sebelum Tokuryu bermutasi menjadi jaringan yang lebih besar dan semakin sulit dilacak di ruang siber.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
3
















































