Ardian Di Hulu, Kebocoran “Pipa” Di Hilir

3 hours ago 2
Editorial

12 November 202512 November 2025

Ardian Di Hulu, Kebocoran “Pipa” Di Hilir

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Pilih nakhoda yang pernah karam, lalu bersikap kaget ketika kapal kembali merapat ke dermaga yang sama.

Di Medan, air mengalir tetapi tata kelolanya mampet. Perumda Tirtanadi—yang seharusnya menjadi urat nadi pelayanan publik dan sumber PAD—kini tampak seperti sistem pipa yang berfungsi dua arah: menyalurkan air kepada warga dan menyalurkan peluang kepada segelintir aktor yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Kondisi ini tidak perlu dramatisasi; cukup diam-diam memeriksa angka-angka untuk melihat bau anyir yang sama berulang.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Tumpahnya masalah bermula dari dua tempat sekaligus: meja tender dan saluran distribusi. Di ruang tender, kabar tentang monopoli pekerjaan oleh oknum berinisial D dan S berulang dalam keluh-kesah kontraktor lama—bukan tuduhan acak, melainkan desakan yang muncul dari arketipe: pekerjaan besar dan kecil berputar di lingkar yang sama, sementara pelaku usaha yang berpengalaman dipinggirkan. Di jaringan pipa, angka kehilangan air (NRW) 38% bukan statistik biasa, melainkan audit kebocoran yang melaung—sekitar ratusan miliar rupiah potensi pendapatan tak pernah sampai ke kas daerah.

Bila angka adalah mata, maka rekam jejak adalah wajah. Nama Ardian Surbakti muncul di ujung hulu sebagai Direktur Utama yang diharapkan menambal bocor “pipa” anggaran Tirtanadi. Hanya saja, berharap sangat sering bukan strategi manajemen. Kritik tajam menyebutkan bahwa pemilihan Ardian oleh Gubernur Bobby Nasution dinilai gagal membaca histori: catatan resign dan kegagalan di PD Pembangunan Kota Medan bukan noda kecil yang bisa dilupakan dengan seremonial serah terima jabatan. Pilih nakhoda yang pernah karam, lalu bersikap kaget ketika kapal kembali merapat ke dermaga yang sama—itu bukan nasib, itu iktibar.

Jika kita perinci kepentingan, peta menjadi gamblang: BUMD yang dibiayai APBD semestinya melayani publik; ketika BUMD berubah jadi tambang kekuasaan seseorang, fungsi publik digadaikan untuk kepentingan partisan. Dugaan jual beli jabatan, penempatan loyalis, dan jual-beli proyek bukan jenis kesalahan teknis; itu perdagangan integritas publik. Uang rakyat yang harusnya menopang layanan berubah menjadi upah untuk menjaga lingkar setia kekuasaan. Hasilnya: air tidak layak diminum, suplai sering macet, dan klaim kontribusi PAD menjadi tuntutan akademis yang jauh dari praktik.

Bukan hanya masyarakat kecil yang merasakan. DPRD dan aktivis sipil sudah mencatat adanya potensi kebocoran besar dan menagih akuntabilitas—bukan retorika, melainkan usulan konkret: audit investigatif, pembentukan pansus, dan bila perlu, tuntutan hukum bagi pihak yang terlibat. Ketika kritik mendengung dari berbagai penjuru, bungkamnya manajemen—pesan dibaca, telepon tak diangkat—bukanlah sikap netral. Itu adalah bahasa penghindaran tanggung jawab. Diam itu jugalah argumen paling keras dari mereka yang merasa aman di balik struktur yang rapuh.

Kita boleh lembut dalam bahasa, tetapi tidak boleh lunak dalam tuntutan. Karena itu aparat penegak hukum harus membuka lembaran audit yang komprehensif; Bila hasil audit menunjukkan maladministrasi dan korupsi, langkah hukum harus ditempuh tanpa pilih kasih; Dan, bila kepala perusahaan tak sanggup memimpin—entah karena rekam jejak, inkompetensi, atau konflik kepentingan—maka mundurlah demi publik, bukan demi kehormatan sistem kekuasaan perseorangan atau de geng.

Sindiran terbaik untuk orang-orang yang ingin terus berkuasa tapi tidak kompeten dan tidak amanah bukanlah ledakan kata, melainkan “pisau kecil” yang terus diasah sampai jaringan yang membusuk terbuka ke publik. Tirtanadi tidak butuh drama panggung; ia butuh perbaikan struktur yang sistemmatis dan pemimpin yang menambal, bukan menambahi celah. Bila air adalah hak dasar, tata kelola adalah jaminannya. Bila tata kelola itu bocor, maka rakyat bukan hanya kehilangan air—mereka kehilangan kepercayaan pada yang seharusnya melindungi hak itu. Dan kepercayaan, sekali bocor, tak semudah pipa yang bisa ditambal dengan sambungan sementara—seperti jejak Ardian Surbakti yang gagal di Kota Medan, lalu menuai isu korupsi di Tirtanadi.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |