ACEH TAMIANG (Waspada.id): Maulizar Zikri, Ketua Komisi III DPRK Aceh Tamiang menegaskan, perusahaan yang beroperasi di wilayah kabupaten ini harus benar – benar memberikan dampak bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi operasional dari perusahaan.
“Terlebih program CSR- nya itu jangan dianggap sebagai sedekah, tapi lebih kepada tanggung jawab sosial dan legitimasi moral perusahaan, seperti halnya PT Pertamina EP Rantau, jangan melempar tanggung jawab bagi kepentingan umum di daerah operasional perusahaan,” kata Malizae Zikri yang akrab disapa Dekdan dalam kegiatan RDP bersama manajemen PT Pertamina EP Rantau dan Forum CSR Kabupaten Aceh Tamiang, Rabu (12/11).
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Disampaikannya, adanya jalan di sekitar operasi perusahaan rusak karena aktivitas perusahaan. “Masyarakat tidak mau tahu siapa yang harus memperbaiki, mereka hanya ingin bisa lewat tanpa terjebak lumpur,” ujarnya lantang.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya antara DPRK Aceh Tamiang dan Pertamina EP Rantau terkait pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) atau yang dalam industri migas dikenal sebagai Program Pengembangan Masyarakat (PPM) terlihat berlangsung sangat alot.
Namun, topik yang tampak teknis ini segera berubah menjadi perdebatan tajam tentang tanggung jawab sosial dan legitimasi moral perusahaan negara di tanah rakyat penghasil minyak. Maulizar Zikri berfokus pada kondisi jalan di sekitar wilayah operasi Pertamina EP Rantau, yang menurut laporan warga sudah seperti kubangan.
Ia menilai, rusaknya jalan bukan sekadar akibat hujan dan waktu, melainkan dampak langsung dari kendaraan berat perusahaan yang lalu lalang setiap hari. “Jangan bersembunyi di balik alasan bahwa jalan itu sudah diserahkan ke Pemkab. Perusahaan tetap punya tanggung jawab moral,” tegas Maulizar Zikri politisi Partai Nasdem.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi III lainnya. Sugiono Sukandar menyebut kerusakan sudah merata dan parah, sementara Irwan Effendi menekankan agar perbaikan jalan masuk prioritas utama program CSR 2025–2026
“Kami akan meninjau dan mengevaluasi langsung di lapangan, CSR dalam migas bukan hanya program sosial, tapi instrumen untuk menjaga kepercayaan publik.” kata Yanin, Perwakilan SKK Migas dalam RDP tersebut.
Dalam industri migas, CSR disebut PPM. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus bisa dipertanggungjawabkan dan diaudit oleh SKK Migas dan BPK. Ia menjelaskan, SKK Migas tidak hanya bertugas mengawasi produksi, tetapi juga memastikan program sosial perusahaan memberi dampak nyata bagi masyarakat.
“Kami akan meninjau kondisi jalan dan mengevaluasi apakah kerusakan disebabkan aktivitas kontraktor atau faktor lain. Hasilnya akan kami koordinasikan dengan Pertamina dan pemerintah daerah,” tambah Yanin.
“CSR itu tanggung jawab, bukan belas kasihan, pemerintah harus punya dasar hukum yang kuat agar setiap perusahaan tahu kewajibannya dan rakyat tahu haknya.” kaya Syed Zainal M, SH, Ketua Forum CSR Aceh Tamiang.
Di tengah perdebatan teknis soal anggaran dan kewenangan, Sayed Zainal mengutarakan, CSR ini jangan lagi dipahami sebagai belas kasihan perusahaan.
Menurutnya, dalam Qanun Aceh Tamiang Nomor 7 Tahun 2014, sudah jelas diatur tiga kelompok peran; pemerintah daerah sebagai koordinator dan penerima laporan triwulan, DPRK sebagai pengawas, dan perusahaan sebagai pelaksana tanggung jawab sosial.
“Masalahnya, selama ini koordinasi kita tidak kuat, jangankan manfaatnya, untuk mengeksekusipun lemah karena dasar hukumnya belum ditegakkan, banyak perusahaan yang tidak jelas sosialisasi tanggung jawabnya.” tegas Sayed Zainal.
Ia mengingatkan, pertemuan dua bulan lalu di Medan sebenarnya sudah menyinggung hal ini. “Kita sudah minta unsur terkait di jajaran Pemkab Aceh Tamiang dan Bupati menindaklanjuti lewat aturan turunan atau minimal instruksi bupati. Kalau kita menunggu revisi qanun, itu panjang, tapi instruksi bisa jadi dasar yang mengikat, agar semua perusahaan paham kewajibannya,” tegas Sayed Zainal lagi.
Manajemen Pertamina EP Rantau, melalui Field Manager Tomi Wahyu Alimsyah, menyebut; pihaknya akan berkoordinasi dengan kontraktor dan SKK Migas untuk mencari solusi perbaikan jalan yang sesuai koridor regulasi.
Namun Maulizar tak sepenuhnya puas, jangan semua diserahkan pada regulasi. Kalau masyarakat sudah marah, regulasi takkan mampu menahan amarah itu.
Wakil Ketua DPRK, Sayiful Bahri, juga menambahkan kritik tajam. Ia menilai koordinasi dan pelaporan CSR selama ini tidak berjalan sebagaimana diatur qanun. “DPRK sering tahu ada program setelah masyarakat turun protes, itu tidak sehat,” ujarnya.
Ia menegaskan, CSR bukan bentuk kemurahan hati, tapi kewajiban hukum, dan coba buka Qanun Nomor 7 (Perda) tahun 2014 turunan Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) jelas diatur, semua kegiatan Pertamina harus merujuk Qanun.
Rapat tersebut ditutup dengan beberapa kesimpulan; Pertamina EP Rantau diminta memprioritaskan perbaikan jalan sekitar wilayah operasi sebagai program utama CSR 2025–2026.
SKK Migas akan melakukan evaluasi lapangan bersama vendor. Pemkab dan DPRK Aceh Tamiang akan memperkuat mekanisme pengawasan dengan laporan triwulan. Kemudian, Forum CSR akan membantu menyusun rekomendasi agar dasar hukum pelaksanaan CSR diperkuat melalui instruksi bupati.
Namun bagi Maulizar Zikri, rapat hari itu hanyalah awal dari perjalanan panjang. “Kami tidak akan berhenti di notulen, “tegas politik muda Aceh Tamiang.
Seperti diketahui, Di Aceh Tamiang, minyak mentah pernah menjadi berkah dan sempat mengalami masa keemasannya. Namun, isu CSR adalah cermin hubungan antara kekuasaan, ekonomi, dan keadilan sosial. (id76)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































