Juni Ceria, Data Ekonomi Ini Bisa Jadi Booster IHSG Pekan Depan

1 day ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Perjalanan pasar keuangan Tanah Air pada akhir Mei 2025 terpantau kurang menyenangkan. Baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun rupiah kompak berada di zona merah.

Pada perdagangan Jumat (30/5/2025), IHSG tercatat melemah 0,32% di level 7.175,82. Pelemahan ini mendorong penurunan IHSG selama tiga hari beruntun.

Begitu juga dengan rupiah yang berada di zona pelemahan, pada Jumat (30/5/2025), rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,09% di level Rp16.825/US$1. Pelemahan ini telah menjadi kejatuhan rupiah terhadap dolar AS selama tiga hari beruntun.

Pergerakan pasar keuangan di awal Juni diperkirakan akan sangat menarik, meskipun hanya terdapat empat hari perdagangan karena terdapat hari libur nasional pada Jumat (6/5/2025) untuk memperingati Hari Raya Idul Adha. Menariknya perdagangan pada pekan depan, lantaran banjirnya data-data ekonomi terutama dari dalam negeri yang akan menjadi booster bagi pergerakan pasar keuangan.

PMI Manufaktur Indonesia

Pada awal pekan Senin (2/6/2025), S&P Global akan merilis data Purchasing Managers' Index (PMI) periode Mei 2025. Sebelumnya, aktivitas manufaktur Indonesia terkontraksi pada April 2025. PMI bahkan mencatat kinerja terburuk sejak Agustus 2021 di mana pada periode tersebut Indonesia tengah dihantam pandemi Covid-19 gelombang Delta.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 46,7 atau mengalami kontraksi di April 2025. Ini adalah kali pertama PMI mencatat kontraksi sejak November 2024 atau dalam lima bulan terakhir.

PMI bahkan melaju dalam kecepatan terendah sejak Agustus 2021 atau 3,5 tahun lebih.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

Koreksi pada April juga mengakhiri kinerja positif aktivitas manufaktur RI yang ekspansif pada Desember 2024 hingga Maret 2025.

Inflasi Indonesia

Masih di hari yang sama Senin (2/6/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode Mei 2025. Indeks Harga Konsume (IHK) diperkirakan turun atau mengalami deflasi pada Mei 2025. IHK turun karena melandainya harga sejumlah bahan pangan, tiket transportasi, hingga bahan bakar minyak (BBM).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan IHK secara bulanan (month to month/mtm) diproyeksi turun atau mengalami deflasi sebesar 0,1%. Sementara secara tahunan (year on year/yoy), IHSK masih diproyeksi naik atau mengalami inflasi sebesar 1,89%.

Jika IHK kembali terjadi deflasi maka ini akan menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%).

Sebelumnya, inflasi April 1,17% secara bulanan. Secara tahunan atau year on year, inflasi mencapai 1,95%.

Namun, tingkat inflasi bulanan pada April 2025 terpantau lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya 1,65%.

Kelompok pengeluaran penyumbang inflasi bulanan terbesar adalah perumahan, air, listrik, dan bahan bakar tangga dengan inflasi sebesar 6,60%. Sedangkan andil inflasi dari kelompok ini adalah 0,98%.

Lalu, kelompok kedua yang menjadi penyumbang utama inflasi April 2025 adalah perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 2,46% dan andil inflasi 0,16%. Komoditas emas dan perhiasan penyumbang andil inflasi terbesar pada kelompok ini.

Di lain sisi, BPS mencatat inflasi 1,95% secara yoy utamanya didorong oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Inflasinya sebesar 2,17% dengan andil 0,64%.

Neraca Dagang Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia beserta ekspor dan impor periode April 2025. Neraca perdagangan diproyeksi masih berada di zona surplus periode April 2025. Surplus kali ini diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.

Neraca perdagangan April 2025 akan mencerminkan seberapa besar dampak kebijakan perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Sebagai catatan, Trump mengumumkan kebijakan tarif impor 10% dan tarif resiprokal pada 2 April 2025. Trump juga terus mengganti kebijakan tarif impornya. Trump memang menunda tarif resiprokal hingga 90 hari tetapi tetap memberlakukan tarif 10%.

Kebijakan yang berubah-ubah ini tentu berdampak kepada aktivitas perdagangan karena importir atau eksportir bisa ragu memesan atau mengirim barang.

Surplus perdagangan Indonesia juga diperkirakan akan menyusut karena ada libur panjang Lebaran Jari Raya Idul Fitri hingga 8 April 2025.

Apabila surplus neraca perdagangan kali ini kembali terjadi, maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 60 bulan beruntun sejak Mei 2020.

PMI Manufaktur ISM AS

Pada Senin (2/6/2025), Institute for Supply Management (ISM) akan merilis data Indeks Manajer Pembelian (PMI) Amerika Serikat (AS) periode Mei 2025.

Sebelumnya, PMI Manufaktur tercatat 48,7% pada bulan April, 0,3 poin persentase lebih rendah dibandingkan dengan 49% yang tercatat pada bulan Maret. Ekonomi secara keseluruhan terus berkembang selama 60 bulan setelah satu bulan kontraksi pada bulan April 2020. PMI Manufaktur di atas 42,3%, selama periode waktu tertentu, umumnya menunjukkan perluasan ekonomi secara keseluruhan.

PMI Manufaktur Komposit AS

Pada Rabu (4/6/2025), terdapat rilis data Indeks Output Gabungan PMI AS Global S&P periode Mei 2025, yang diperkirakan akan naik menjadi 52,1 dari 50,6 pada periode April 2025.

Kenaikan indeks menandakan percepatan pertumbuhan aktivitas dari level terendah dalam 19 bulan pada bulan April ke level tercepat sejak bulan Maret, meskipun tetap menjadi salah satu pembacaan terlemah yang terlihat sejak awal tahun 2024.

Ekspansi terkuat tercatat di sektor jasa, di mana pertumbuhan aktivitas bisnis bangkit kembali dari level terendah dalam 17 bulan pada bulan April tetapi tetap di bawah kecepatan bulan Maret dan rata-rata yang terlihat pada tahun 2024. Sementara itu, output manufaktur kembali tumbuh setelah turun pada bulan Maret dan April, meskipun hanya sedikit meningkat.

Pidato Powell

Pada Selasa (3/6/2025), Ketua The Federal Reserve Jerome Powell dijadwalkan untuk memberikan pidato yang akan menjadi sorotan utama dalam minggu ini. Pidato ini sangat dinantikan karena akan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai arah kebijakan moneter The Fed di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik.

Meskipun ada tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk menurunkan suku bunga, Powell dan rekan-rekannya di The Fed menekankan pentingnya kesabaran dalam kebijakan moneter. Mereka berencana untuk menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai dampak kebijakan perdagangan dan fiskal sebelum membuat keputusan terkait suku bunga.

Powell telah menyatakan bahwa inflasi inti (tidak termasuk pangan dan energi) berada di sekitar 2,6% per Maret 2025. Meskipun ada penurunan inflasi, ketidakpastian tetap ada, terutama terkait dengan kebijakan tarif yang dapat mempengaruhi ekspektasi inflasi jangka panjang.

Powell akan membahas dampak dari perubahan kebijakan signifikan yang sedang diterapkan oleh pemerintahan Trump, termasuk di bidang perdagangan, imigrasi, kebijakan fiskal, dan regulasi. Ketidakpastian seputar perubahan dan dampaknya tetap tinggi, dan The Fed berfokus pada pemisahan sinyal dari gangguan seiring dengan perkembangan prospek ekonomi.

Meskipun ada tantangan, Powell menilai bahwa ekonomi AS berada dalam posisi yang baik. Pasar tenaga kerja solid, dan inflasi bergerak mendekati target jangka panjang The Fed sebesar 2%. Namun, The Fed tetap berhati-hati dalam merespons data ekonomi karena ketidakpastian yang ada.

Lowongan Pekerjaan JOLTS AS

Pada Selasa (3/6/2025), Biro Statistik Tenaga Kerja AS akan merilis data jumlah lowongan pekerjaan di Amerika Serikat (AS) periode April 2025. Sebelumnya, jumlah lowongan pekerjaan di AS turun menjadi 7,2 juta pada bulan Maret, dari 7,5 juta yang direvisi turun pada bulan Februari, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS.

Ada 3,3 juta orang yang berhenti bekerja pada bulan Maret, tidak berubah dari bulan sebelumnya, dan tingkat berhenti bekerja berada pada 2,1%.

Jumlah PHK dan pemutusan hubungan kerja turun sedikit, dan tingkat PHK sebagian besar tetap tidak berubah pada 1%.

Neraca Dagang AS

Pada Kamis (5/6/2025), terdapat data neraca perdagangan Amerika Serikat (AS) beserta ekspor dan impor periode April 2025. Sebelumnya, Biro Sensus AS dan Biro Analisis Ekonomi AS melaporkan bahwa defisit barang dan jasa mencapai US$140,5 miliar pada periode Maret, naik US$17,3 miliar dari US$123,2 miliar pada periode Februari yang telah direvisi.

Ekspor Maret mencapai US$278,5 miliar, SU$0,5 miliar lebih banyak dari ekspor Februari. Impor Maret mencapai US$419,0 miliar, US$17,8 miliar lebih banyak dari impor Februari.

Peningkatan defisit barang dan jasa pada periode Maret mencerminkan peningkatan defisit barang sebesar US$16,5 miliar menjadi US$163,5 miliar dan penurunan surplus jasa sebesar US$0,8 miliar menjadi US$23,0 miliar.

Tahun ini, defisit barang dan jasa meningkat US$189,6 miliar, atau 92,6%, dari periode yang sama pada tahun 2024. Ekspor meningkat US$41,1 miliar atau 5,2%. Impor meningkat US$230,7 miliar atau 23,3%.

PMI Manufaktur China

Dari negeri tirai bambu, pada Selasa (3/6/2025) terdapat rilis data PMI Manufaktur Umum Caixin China periode Mei 2025. Sebelumnya, PMI Manufaktur Umum Caixin China turun ke 50,4 pada April 2025, turun dari level tertinggi empat bulan di bulan Maret sebesar 51,2.

Namun, angka tersebut melampaui ekspektasi sebesar 49,8, menandai ekspansi bulan ketujuh berturut-turut, meskipun itu adalah pertumbuhan terlemah sejak Januari, yang menunjukkan bahwa langkah-langkah stimulus Beijing masih mendukung pemulihan ekonomi.

Pertumbuhan pesanan baru melambat ke level terendah tujuh bulan di tengah penurunan penjualan luar negeri yang kembali terjadi, didorong oleh tarif AS yang lebih tinggi. Akibatnya, pertumbuhan output juga melambat.

Ketenagakerjaan turun sedikit karena tanda-tanda berkurangnya persyaratan kapasitas, sementara tumpukan pekerjaan menurun untuk pertama kalinya sejak September lalu. Pertumbuhan aktivitas pembelian melemah, dan waktu pengiriman diperpanjang karena gangguan perdagangan dan kendala sisi pasokan.

Di sisi harga, biaya input turun di tengah permintaan yang lemah, yang menyebabkan penurunan harga output selama lima bulan berturut-turut. Terakhir, sentimen melemah ke level terendah ketiga sejak seri dimulai pada April 2012.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |