Kisah Petani Tangse: Disangka Monyet, Ternyata Suku Mate Yang Numpang Makan

7 hours ago 5
AcehFeatures

2 November 20252 November 2025

 Disangka Monyet, Ternyata Suku Mate Yang Numpang Makan Hamparan kebun di perbukitan Tangse, Pidie. Petani di sini mengaku sering dijumpai Suku Mate atau Aneuk Coh.Waspada.id/Muhammad Riza

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Mereka adalah makhluk penjaga rimba, penghuni lama sebelum manusia datang membuka kebun. Bila mereka mengambil makanan, itu tanda mereka lapar atau ingin mengingatkan agar manusia tidak serakah menebas hutan.

Pagi itu kabut masih menempel di pucuk-pucuk daun kopi muda di lereng Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Hutan tua yang lembab menghembuskan aroma tanah basah, seolah menyimpan rahasia yang hanya dimengerti oleh mereka yang telah lama hidup berdampingan dengannya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Sulaiman, 52, dan istrinya, Siti Hajar, 48, memulai hari seperti biasa. Cangkul di tangan, parang di pinggang. Mereka menebas semak liar, membersihkan lahan yang akan ditanami kopi dan pisang barangan dua hasil bumi yang menjadi napas hidup masyarakat Tangse sejak dahulu kala.

Dari kejauhan, terdengar suara riang burung rimba. Di rumah papan sederhana di pinggir kebun, Nur Boiti, 17, anak semata wayang mereka, sedang menanak nasi. Di dapur kayu yang hangat oleh asap dapur, ia menyiapkan lauk sederhana ikan asin, sambal tumis, dan secangkir kopi pahit.

Menjelang tengah hari, tepat pukul 12:00 WIB, Nur Boiti memanggul rantang dan satu ceret kecil berisi kopi hangat. Ia melangkah menyusuri jalan setapak, melewati akar-akar pohon besar yang melintang seperti tangan tua.

Setibanya di kebun, Sulaiman dan Siti Hajar tengah mengelap keringat di wajah. Mereka berhenti bekerja, mencuci tangan di sungai kecil, lalu mengambil air bersih untuk berwudu. Di bawah naungan pohon tinggi, ketiganya menunaikan salat Zuhur berjamaah. Suara mereka lirih, menyatu dengan desir angin dan bunyi serangga yang bersahut-sahutan.

Namun di sisi lain kebun, sesuatu terjadi. Sekelompok makhluk yang oleh warga disebut Aneuk Coh (suku mate-red), sejenis primata yang jarang terlihat manusia datang tanpa suara. Mereka melangkah ringan, seolah bayangan yang menembus sela daun. Dengan lincah, mereka membuka tutup rantang dan menyantap habis nasi serta lauk-pauk yang dibawa Nur Boiti.

Anehnya, ketika Sulaiman dan Siti Hajar kembali, rantang itu masih tertata rapi. Piringnya bersih, bahkan sendoknya tersusun seperti semula. Hanya isinya yang lenyap, seolah tidak pernah ada makanan di sana.

Siti Hajar menatap suaminya dengan mata penuh tanya. “Bang, siapa yang makan ni? Kok habis semua, tetapi tidak berantakan?”

Sulaiman hanya diam. Ia menatap lebatnya hutan yang bergoyang pelan, seolah ada mata yang mengintip dari balik semak.

Di kejauhan, terdengar tawa kecil mirip anak-anak bermain, tetapi terlalu jauh, terlalu aneh untuk suara manusia.

Warga Tangse percaya, Aneuk Coh bukanlah sekadar kera atau hewan liar. Mereka adalah makhluk penjaga rimba, penghuni lama sebelum manusia datang membuka kebun. Bila mereka mengambil makanan, itu tanda mereka lapar atau ingin mengingatkan agar manusia tidak serakah menebas hutan.

Sulaiman menatap langit yang mulai memerah di ujung sore. Ia menunduk pelan. “Mungkin mereka juga lapar, Yah,” kata Siti Hajar lirih.

Dan hari itu, nasi yang lenyap di hutan Tangse menjadi kisah yang turun-temurun dibisikkan di antara batang kopi dan pohon pisang tentang manusia, hutan, dan makhluk yang hidup di antara keduanya.

Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |