Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Preseden moral pernah ditunjukkan negeri ini. Tahun 2008, KPK menetapkan Aulia Pohan—besan Presiden SBY—sebagai tersangka. Presiden tidak mengintervensi. Negara tidak runtuh.
Teriakan itu terdengar lantang—seperti lonceng peringatan di ruang sidang. Pada 24 September 2025, Majelis Hakim Tipikor memerintahkan KPK untuk memanggil Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam perkara dugaan korupsi proyek peningkatan jalan. Instruksi itu disampaikan terbuka, bukan melalui lobi politik ataupun percakapan gelap. Namun setelah itu, suara yang semula tegas tiba-tiba meredup. KPK berhenti di persimpangan: tidak maju, tidak mundur, hanya diam.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Padahal mandat lembaga antirasuah bukan menunggu angin, melainkan menggerakkan arus sejarah pemberantasan korupsi. Hakim Ketua Khamozaro Waruwu menegaskan kepala daerah tidak boleh dikecualikan dari proses pembuktian hukum, terutama bila proyek berada dalam domain anggaran dan kewenangannya. Pesannya jelas: bila aliran fakta mengarah kepada Bobby, ia harus dihadirkan sebagai saksi. Itu bukan manuver politik, melainkan prosedur hukum biasa.
Namun hingga kini, KPK tidak bergerak. Hakim pun diam, tak “garang” lagi. Mengapa panggilan saksi menguap begitu saja? Apakah bukti belum cukup? Ataukah keberanian justru menciut ketika berhadapan dengan menantu seorang mantan presiden?
Nama Bobby bukan hanya terdengar dalam perkara jalan yang menjebloskan Topan Ginting, mantan Kadis PUPR Sumut, ke ubin penjara KPK yang dingin. Dalam persidangan kasus suap dan gratifikasi mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (AGK), istilah “Blok Medan” muncul di ruang sidang—bukan di warung kopi. Pada 31 Juli 2024, Kepala Dinas ESDM Maluku Utara, Suryanto Andili, menyebut keterlibatan “orang Medan” dalam pembahasan IUP nikel. Mereka diduga kuat Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, setelah pertemuan jamuan bersama AGK di Medan. KPK kala itu menyatakan, “Jika alat bukti cukup, penyidikan akan dibuka.”
Sudah hampir setahun sejak keterangan itu muncul. Pertanyaannya: benar-benarkah tidak ada perkembangan bukti tentang dugaan itu? Atau ada upaya halus agar kasus ini berhenti tepat sebelum menyentuh lingkar kekuasaan?
Faktanya, hingga AGK meninggal saat menunggu kasasi di MA, perkara Blok Medan senyap. Diam dan membeku seperti tubuh yang telah kaku.
Dalam kasus proyek peningkatan jalan di Sumut, risalah persidangan menunjukkan bahwa proses penyusunan anggaran beririsan langsung dengan jaringan politik dan kewenangan kepala daerah. Gubernur Bobby berkali-kali menggeser anggaran agar proyek itu “cair”. Dan ironinya, ketika hakim meminta Jaksa KPK menghadirkan Bobby untuk memperjelas konstruksi aliran pengaruh, proses itu justru menghilang tanpa penjelasan publik. Pemanggilan seorang saksi tampaknya menjadi sesuatu yang dianggap berisiko mengguncang struktur yang lebih besar daripada hanya cuma perkara proyek daerah.
Ada dua kemungkinan yang mendasari kecurigaan publik: Pertama, KPK berhati-hati agar konstruksi hukum kuat sebelum melangkah. Kedua, proses hukum terhalang kepentingan struktural sehingga berhenti di titik tertentu.
Namun konteks sosial politik kini berbeda. Kepercayaan publik terhadap KPK sudah tergerus sejak Revisi UU KPK 2019 yang menempatkannya di bawah kendali eksekutif. Berbagai survei (Indikator, LSI, Alvara 2021–2024) menunjukkan penurunan konsisten kepercayaan publik. Persepsi bahwa KPK tak lagi independen menjadi dominan.
Karena itu, jika pemanggilan saksi berhenti di meja birokrasi, yang terjadi bukan hanya kelambanan teknis, melainkan normalisasi pengecualian hukum bagi para elite—termasuk lingkar keluarga bekas presiden. Dan ketika pengecualian semacam itu berubah menjadi kebiasaan, demokrasi pun menyusut menjadi ornamen administratif. Ironisnya, hal ini justru terjadi pada era Presiden Prabowo, yang kerap beretorika akan memburu koruptor sampai ke Antarktika. Faktanya, hingga kini nyali penegakan hukumnya justru tampak meredup.
Padahal preseden moral pernah ditunjukkan negeri ini. Tahun 2008, KPK menetapkan Aulia Pohan—besan Presiden SBY—sebagai tersangka. Presiden tidak mengintervensi. Negara tidak runtuh. Yang bertahan adalah prinsip: hukum boleh menembus dinding keluarga kekuasaan.
Kini pertanyaannya adalah: Apakah kita masih bangsa yang membiarkan hukum bekerja? Ataukah kita telah menjadi negeri yang menghentikan hukum di depan pintu kekuasaan?
KPK tidak sedang diuji hanya dalam perkara korupsi. Ia sedang diuji apakah ia masih memiliki nyali untuk menghadirkan Bobby Nasution sebagai saksi di pengadilan. Jika hukum hanya berani kepada rakyat biasa, takut kepada seorang Bobby, maka itu bukan hukum—melainkan tata krama kekuasaan yang mengarah kepada “kebancian” hukum itu sendiri.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































