Menjaga Energi Negeri Mengalir Tanpa Henti : Antara Bahaya Dan Tugas Mulia

5 hours ago 4

MEDAN (Waspada.id): Kabut pagi masih menggantung di cakrawala ketika deru mesin kapal perlahan memecah keheningan laut. Di dek yang basah, para pelaut berdiri tegak, menatap jauh ke arah tujuan yang belum tampak. Bagi mereka, laut bukan sekadar bentangan air — tapi ladang pengabdian.

Dari sinilah kisah tiga pelaut Pertamina International Shipping (PIS) dimulai, yaitu Capt. Andhika Dwi Cahyo Kumolo sebagai Master Kapal Pertamina Gas 1, Capt. Adi Nugroho sebagai Master Kapal Papandayan, dan Eka Retno Ardianti selaku Third Officer Kapal PIS Natuna. Mereka menempuh gelombang demi satu alasan, menjaga energi negeri tetap mengalir tanpa henti.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kala itu langit malam di Samudra Hindia berwarna hitam pekat. Di kejauhan, hanya tampak cahaya kecil dari kapal tanker raksasa yang perlahan bergerak menembus gelombang. Angin mengamuk, ombak menjulang hingga sembilan meter, mengguncang setiap baut dan tiang kapal. Tapi di dalam ruang kemudi, seorang kapten berdiri tegak — Captain Andhika Dwi Cahyo Kumolo.

“Setiap kali ombak datang, rasanya seperti menantang maut. Tapi kalau kapal ini berhenti, energi untuk negeri pun terhenti,” katanya kepada wartawan dalam satu moment wawancara, Rabu (22/10/2025) .

Kisah Andhika terjadi di perairan Tanjung Harapan, Afrika Selatan — salah satu lautan paling kejam di dunia. Angin dingin memotong tulang, kapal terguncang tanpa henti, dan suara badai seolah tak pernah berhenti memanggil.

“Kadang kami tidak tidur dua hari penuh. Setiap detik harus waspada. Laut bisa berubah secepat kedipan mata,” kenangnya.

Namun di balik semua itu, ada keyakinan yang membuatnya tetap teguh. “Kalau kami menyerah, listrik di rumah-rumah orang bisa padam, bahan bakar bisa tak sampai ke darat. Jadi apa pun yang terjadi, kapal harus terus jalan,” ujarnya penuh keyakinan.

Di situlah makna pengabdian itu terasa nyata: antara maut dan tanggung jawab, pelaut selalu memilih untuk bertahan.

Ancaman Datang Tanpa Peringatan

Sementara di sisi lain samudra, Captain Adi Nugroho, pelaut dengan pengalaman 30 tahun, menghadapi musuh lain, yaitu manusia.

“Kalau badai bisa dilihat di radar, perompak tidak,” ucapnya sambil menatap jauh.

Suatu malam di perairan Palawan, Filipina, kapal tanker yang dipimpinnya didekati kapal kecil. Orang-orang di atasnya melambaikan tangan, pura-pura menjual ikan. Tapi naluri seorang pelaut tak bisa dibohongi.

“Mereka terlalu cepat untuk kapal nelayan,” katanya pelan.

Beberapa detik kemudian, sinar dari senjata laras panjang berkilat di tangan mereka. Alarm dibunyikan, seluruh kru siaga, lampu kapal dipadamkan. Dalam gelap, mereka menunggu dengan napas tertahan. Untungnya, para penyerang itu mundur sebelum sempat naik. Namun ketegangan itu masih membekas.

“Kadang saya berpikir, laut itu seperti kehidupan. Tak selalu bisa ditebak, tapi kita harus tetap melanjutkan perjalanan,” tutur Adi dengan suara dalam.

Eka dan Mimpi yang Tak Tenggelam

Di antara ratusan wajah maskulin di dek kapal, ada satu yang berbeda. Eka Retno Ardianti, seorang 3rd Officer muda di kapal tanker PIS Natuna. Tubuh mungilnya mungkin kalah besar dari ombak, tapi semangatnya jauh lebih tinggi dari gelombang mana pun.

“Dulu saya dibilang gila. Katanya perempuan nggak cocok jadi pelaut,” ujarnya sambil tersenyum getir.

Tapi Eka punya mimpi: melihat dunia, menjelajahi lautan, dan membuktikan bahwa keberanian tak punya jenis kelamin.

Kini, setiap kali matahari terbit di tengah laut, ia merasa hidupnya benar-benar berarti.

“Saya kerja sambil melihat dunia. Tapi yang paling penting, saya tahu apa yang saya bawa di kapal ini, energi untuk Indonesia,” tegasnya.

Ia juga merasa bersyukur bekerja di lingkungan yang menghargai perempuan.
“PIS memberi ruang bagi kami untuk berkembang. Di kapal, semua dinilai dari kemampuan, bukan dari siapa kita,” katanya.

Dari Laut untuk Negeri

Corporate Secretary PIS, Muhammad Baron menyebutkan, pelaut seperti Andhika, Adi, dan Eka bukan hanya pahlawan di laut. Mereka adalah penjaga denyut kehidupan bangsa. Di tangan mereka, lebih dari 161 miliar liter minyak, BBM, dan LPG mengalir ke seluruh Indonesia.

Pertamina International Shipping (PIS) kini memiliki 5.300 pelaut, dengan 106 kapal yang menjelajahi 50 rute internasional. Di tengah kerasnya medan, mereka mencatat prestasi luar biasa yaitu zero fatality dan lebih dari 40,5 juta jam kerja aman.

“Capaian itu bukan hanya angka. Itu adalah cerminan komitmen dan pengorbanan setiap pelaut yang bekerja di tengah laut, jauh dari keluarga, tapi dekat dengan cita-cita besar menjaga energi negeri,” ujarnya.

Rindu yang Tak Pernah Pulang

Meski terbiasa menghadapi badai, ada satu hal yang tak pernah bisa mereka kuasai yaitu rindu.

Andhika mengaku, hal tersulit bukan ombak atau cuaca ekstrem, tapi saat harus melewatkan momen bersama keluarga.

“Kami sering hanya bisa menelepon anak lewat sinyal satelit. Kadang sinyal hilang di tengah kalimat. Tapi istri saya selalu bilang, ‘yang penting kamu pulang dengan selamat,’” ceritanya lirih.

Di balik ketangguhan mereka, ada wajah-wajah yang menunggu di darat — istri, anak, orang tua. Mereka mungkin tak pernah melihat lautan, tapi mereka tahu laut telah membentuk sosok yang mereka cintai.

Setiap pelaut tahu, pekerjaannya bukan sekadar mencari nafkah. Itu adalah pengabdian pada kehidupan. Ketika kapal PIS mengantar avtur ke bandara, atau BBM ke pulau-pulau kecil, di situlah mereka melihat makna dari kerja mereka.

“Kami membawa sesuatu yang dibutuhkan semua orang. Tanpa kami, Indonesia bisa berhenti berdenyut,” kata Capt. Adi Nugroho.

“Kami memang jauh dari darat, tapi setiap kali melihat pelabuhan dari kejauhan, kami tahu: di sanalah energi kami sampai, di sanalah tugas kami selesai,” sambung Capt. Andhika dengan tenang.

“Bagi kami, laut bukan tempat menakutkan. Laut adalah tempat kami melayani,” ucap Eka.

Di balik setiap badai, mereka menemukan arti baru dari ketabahan. Di balik setiap ombak, mereka belajar arti tanggung jawab. Dan di balik setiap perjalanan, mereka membawa harapan — bahwa negeri ini akan terus menyala berkat mereka yang berlayar dalam diam.

Mereka bukan hanya pelaut. Mereka adalah penjaga energi negeri tetap mengalir. Di laut yang tak pernah tidur, mereka berjuang agar Indonesia tetap hidup. (id09)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |