Oleh: Farid Wajdi
Ketika bencana datang menghantam, berita pertama yang muncul selalu tentang korban, kerusakan, dan angka-angka statistik.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Namun ada sesuatu yang sering luput dibicarakan: seberapa dalam empati publik bertahan setelah banjir surut dan kamera media beralih ke peristiwa lain.
Empati pada masa bencana bukan sekadar urusan menyumbang logistik atau uang; empati adalah laku sosial yang memerlukan kesadaran moral, kepekaan publik, dan kedisiplinan etika dalam bersikap, termasuk dalam ruang media sosial yang kini menjadi panggung utama ekspresi manusia.
Dalam laporan Kompas (2025), muncul kritik keras terhadap ujaran publik dan pejabat yang justru menambah luka para korban. Sebuah bencana tidak hanya merenggut rumah dan nyawa, tetapi juga memunculkan kalimat-kalimat yang seharusnya tak pernah diucapkan di tengah duka.
Kata-kata bisa menjadi pisau ketika diucapkan tanpa empati, apalagi saat disampaikan dari podium kekuasaan. Ini bukan sekadar masalah komunikasi yang tidak rapi; ini kegagalan membangun imajinasi moral terhadap penderitaan sesama.
Penelitian psikologi sosial oleh Daniel Batson (2011) menunjukkan empati memiliki dua wajah: sebagai energi yang memperkuat solidaritas atau sebagai penopang narsisme ketika ia hanya hadir sebagai respons estetis, bukan tindakan terarah.
Empati yang sejati memerlukan perhatian moral terhadap konteks. Tanpa itu, setiap tindakan, bahkan yang tampak baik, berisiko memproduksi jarak baru antara penyintas dan publik yang mengamati dari jauh.
Konteks itu makin relevan di era media sosial. Ketika korban berjuang mencari sanak keluarga atau sekadar selembar selimut, ruang digital menampilkan ironi: unggahan pesta ulang tahun, berfoto ria di restoran mewah, tawa tanpa jeda, atau konten hiburan yang melintas tanpa peduli ada ribuan orang yang sedang mengubur masa depannya dalam lumpur.
Fenomena inilah yang dikritik Farid Wajdi (2017) mengenai merajut empati di masa musibah. Empati bukan hanya tentang membantu, tetapi juga tentang menahan diri dari memamerkan kelimpahan pada saat sebagian orang bahkan tak punya tempat berteduh.
Perilaku Digital
Dalam kerangka akademik, Sherry Turkle (2011) menyebut perilaku digital pada masa krisis sering melahirkan kekosongan emosional.
Unggahan yang tampaknya tidak berbahaya bisa berubah menjadi simbol ketidakpedulian. Media sosial, tulis Turkle, membuat orang merasa sudah “hadir” hanya dengan mengetik komentar sedih, namun di saat yang sama mereka memamerkan sisi kehidupan yang kontras dengan penderitaan penyintas.
Di sinilah empati diuji: bukan pada apa yang ditampilkan, tetapi pada apa yang dipilih untuk tidak ditampilkan.
Pendekatan etis ini sejalan dengan gagasan Carl Rogers (1959) mengenai empati sebagai kemampuan menghadirkan diri dalam pengalaman emosional orang lain tanpa kehilangan kesadaran diri.
Kehadiran semacam ini menuntut keheningan batin, disiplin, dan kemampuan menahan ego. Empati bukan hanya tindakan spontan, tetapi seni memahami waktu, konteks, dan sensitivitas sosial.
Contoh konkret dapat dilihat dari respons masyarakat pascabencana di berbagai daerah. Dalam laporan RRI (2025), sejumlah komunitas bergerak cepat menggalang bantuan, bukan sekadar karena dorongan belas kasihan, tetapi karena kesadaran moral penderitaan korban adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Laku semacam ini hanya tumbuh dari empati yang matang. Artinya, empati tidak dilahirkan saat bencana datang, melainkan dibiasakan sejak kecil melalui pendidikan, keteladanan, dan pengalaman sosial yang mengajarkan kepedulian.
Empati yang matang juga tercermin dalam perilaku negara. Kompas (2025) menyoroti pernyataan sejumlah pejabat yang terdengar “asal bunyi” dan justru mencederai perasaan korban. Ketika negara berbicara tanpa sensitivitas, bahasa menjadi luka tambahan.
Negara tidak bisa sekadar hadir dengan logistik dan instruksi. Negara harus hadir dengan rasa hormat. Dengan empati. Dengan bahasa yang tidak hanya informatif, namun juga menenangkan.
Di sisi lain, empati juga berfungsi sebagai koreksi diri masyarakat luas. Opini NU Online (2025) menekankan pentingnya literasi empatik: kemampuan membaca situasi duka dan menyesuaikan perilaku daring secara etis.
Literatur ini mengingatkan empati bukan larangan bergembira, melainkan kesadaran memilih waktu dan ruang yang tepat. Kebijaksanaan semacam ini adalah fondasi solidaritas.
Empati Berkelanjutan
Penelitian Nancy Eisenberg (2002) mempertegas gagasan ini. Empati yang bersifat berkelanjutan memerlukan unsur moral, bukan hanya reaksi emosional sesaat.
Tanpa fondasi moral, empati mudah berubah menjadi sentimentalitas pasif yang hanya hadir dalam beberapa hari pertama bencana, lalu menghilang begitu linimasa memunculkan berita baru.
Pada titik ini, empati dapat dipahami sebagai proses tiga lapis. Pertama, empati afektif ketika hati ikut tersentuh melihat penderitaan korban.
Kedua, empati kognitif ketika pikiran mampu masuk ke perspektif penyintas. Ketiga, empati pro-sosial ketika perhatian itu diwujudkan dalam tindakan nyata, termasuk menahan diri dari perilaku yang tidak sensitif.
Ketiga lapisan ini membentuk karakter masyarakat yang peduli. Karakter semacam ini yang menjadi prasyarat untuk menghadapi bencana yang semakin sering terjadi.
Tanpa empati, solidaritas hanya menjadi slogan. Tanpa empati, bantuan berubah menjadi kewajiban kosong. Tanpa empati, ruang digital berubah menjadi panggung ego saat sebagian masyarakat hidup dalam reruntuhan.
Menumbuhkan empati pada masa bencana bukan perkara ajakan kosong. Ini permintaan untuk menghadirkan kembali kemanusiaan di tengah krisis.
Empati adalah jembatan yang memungkinkan publik merasakan rasa sakit bersama, bergerak bersama, memulihkan bersama. Dalam sebuah bangsa yang saban tahun diguncang bencana, empati bukan lagi pilihan, melainkan prasyarat peradaban.
Pada akhirnya, empati mengubah bencana dari peristiwa alam menjadi pengalaman solidaritas. Empati memberi ruang bagi korban untuk merasa tidak sendirian dan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menemukan kembali kemanusiaan bersama.
Sebagai bangsa, pada titik itu, warga menemukan alasan yang lebih dalam untuk bangkit: bukan karena terpaksa, tetapi karena saling menjaga.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































