
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh Hotlan Siregar
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Mahapenyayang adalah mereka yang berjalan di Bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka berkata: ‘Salam’” (QS. Al-Furqan: 63)
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Islam adalah agama yang sangat sempurna. Ia tidak hanya berbicara tentang shalat dan puasa, jihad dan ilmu, tetapi juga menebarkan kelembutan, cinta, dan keceriaan. Dalam lingkaran para sahabat Nabi yang mulia, terdapat seorang lelaki yang membuktikan bahwa keimanan tidak selalu tampil dalam keseriusan wajah atau kekakuan kata, melainkan juga bisa muncul dalam tawa yang jujur dan tingkah yang menyenangkan. Dialah Nu‘aiman bin ‘Amr al-Anshari, sahabat Rasulullah SAW yang dijuluki sebagai “penghibur kaum Muslimin”.
Nu‘aiman adalah sahabat dari golongan Anshar yang turut serta dalam berbagai peristiwa penting, termasuk Perang Badar. Ia bukan orang sembarangan. Ia mencintai Rasulullah SAW dengan segenap jiwanya, dan kesetiaan itu ia tunjukkan dengan caranya sendiri: lewat lelucon, candaan, dan kelucuan yang tak pernah berniat menyakiti, tetapi selalu berujung pada tawa dan cinta. Rasulullah sendiri pun sangat mengenalnya, dan tidak pernah marah atas candaan-candaan Nu‘aiman, bahkan beliau tertawa dan menyayangi Nu‘aiman sebagaimana seorang ayah menyayangi anak yang lucu dan tulus.
Salah satu kisah yang paling terkenal adalah ketika Nu‘aiman melihat seorang pedagang Arab membawa unta ke Madinah. Ia berkata pada pedagang itu, “Aku akan membawamu kepada seseorang yang akan membeli unta ini darimu.” Ia pun membawa pedagang itu ke rumah Rasulullah SAW. Tanpa sepengetahuan Rasulullah SAW, Nu‘aiman mengatakan bahwa Nabi SAW ingin membeli unta tersebut. Rasulullah pun menerima unta itu, dan pedagang menagih bayaran. Ketika ditanya, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Beliau tidak pernah memesan unta itu. Barulah diketahui bahwa Nu‘aiman yang mengatur semuanya. Rasulullah SAW tidak marah. Beliau SAW hanya tersenyum dan bersabda, “Biarlah, Nu‘aiman selalu membuatku tertawa”.
Namun kelucuan Nu‘aiman tidak berhenti di situ. Dalam sebuah riwayat lain, diceritakan bahwa Nu‘aiman pernah menjual sahabatnya sendiri, Suwaibit bin Harmalah, kepada sekelompok kafilah dagang yang singgah di Madinah. Nu‘aiman mengatakan bahwa Suwaibit adalah budaknya dan dijual kepada mereka dengan harga tertentu. Para pedagang membawa Suwaibit, yang tentu saja kebingungan dan protes, “Aku bukan budak, aku sahabat Rasulullah!” Tapi para pedagang menjawab, “Itu karena kau tak ingin dijual!” Ketika akhirnya masalah ini diketahui, Rasulullah SAW tertawa terpingkal-pingkal, dan Beliau SAW serta para Sahabat kemudian menjelaskan bahwa Suwaibit bukan budak, dan itu semua hanyalah candaan Nu‘aiman yang khas.
Apakah Nu‘aiman hanya seorang pelawak di tengah Sahabat? Tentu tidak. Ia adalah pejuang yang ikhlas, seorang Mukmin yang shalih, dan seorang pecinta Rasulullah SAW yang sangat dalam. Ia hadir dalam banyak pertempuran, namun di sela-sela keseriusan hidup, ia menghadirkan senyum. Dalam satu riwayat disebutkan, Nu‘aiman pernah dihukum karena kesalahan minum khamar. Para Sahabat mencelanya karena dosanya, namun Rasulullah SAW dengan lembut bersabda, “Janganlah kalian mencela dia, demi Allah, sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Betapa indahnya, meski seorang Mukmin pernah terjatuh dalam dosa, namun cinta kepada Allah dan Rasul tetap menjadi nilai yang paling utama.
Kisah Nu‘aiman adalah pelajaran besar bagi kita hari ini. Dalam kehidupan yang penuh tekanan dan beban, kita diajarkan untuk tetap memiliki hati yang ringan, wajah yang ceria, dan semangat untuk membuat orang lain tersenyum. Candaan yang baik, selama tidak menyakiti, adalah bagian dari rahmat. Nu‘aiman mengajarkan bahwa menjadi Muslim tidak berarti harus selalu serius, muram, atau kaku. Justru, wajah yang tersenyum dan hati yang tulus bisa menjadi jalan dakwah dan cinta.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” Maka, tidakkah kita ingin menjadi seperti Nu‘aiman yang bukan hanya mencintai Nabi SAW, tetapi juga dicintai oleh Nabi SAW karena membawa kebaikan dengan caranya yang lembut dan jenaka?
Hikmah dari Kisah Nu‘aiman adalah bahwa: Tidak semua kebaikan harus ditunjukkan dengan keseriusan; candaan yang jujur dan ikhlas bisa menjadi bentuk cinta; Rasulullah SAW adalah teladan dalam menanggapi perbedaan karakter Sahabat, termasuk menerima kejenakaan Nu‘aiman dengan hati lapang; Cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak selalu tampak dalam bentuk ibadah yang kaku; terkadang cinta itu hadir dalam cara yang unik, namun tetap tulus dan sejati; Setiap Muslim punya jalan untuk menjadi istimewa di sisi Allah, termasuk lewat akhlak yang menyenangkan dan hati yang menghibur sesama.
(Guru Pesantren Darul Mursyid-Tapsel)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.