Solar Ilegal Di Negeri Emas, Kisah Antrean Subuh Di Pidie

3 hours ago 2

Subuh belum menua ketika jalan di depan sebuah SPBU di Kabupaten Pidie mulai ramai oleh cahaya lampu mobil.

Udara masih dingin, namun di bawah sinar temaram, dua hingga tiga unit pikap sudah berjajar, bak terbuka mereka penuh jeriken besar. Di antara embun yang jatuh di kaca, tercium bau solar yang menusuk aroma yang belakangan ini menjadi rahasia umum di kota kecil ini.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di papan SPBU itu hanya tertulis satu inisial, SPBU PP. Tetapi bagi warga sekitar, huruf itu punya makna lain pengisian penuh permainan. Sebab setiap hari, pada jam-jam ketika dunia masih setengah terjaga, bahan bakar bersubsidi itu mengalir bukan ke tangki rakyat, melainkan ke jeriken-jeriken yang akan dibawa menembus hutan pegunungan Geumpang, Mane, dan Tangse.

“Setiap subuh dan malam pasti ada mobil pikap antre. Mereka isi solar subsidi dalam jeriken besar,” kata seorang warga yang meminta namanya disembunyikan, Minggu (27/10/2025).

Warga sudah lama mencium gelagat itu. Tetapi di balik antrean yang tampak biasa, mereka tahu ada bayang-bayang aparat berseragam yang membuat mereka enggan bicara lebih jauh. Di Pidie, solar bukan sekadar bahan bakar, ia sudah berubah menjadi mata rantai kekuasaan kecil, tempat untung dan pengaruh berjalan beriringan.

Ketika Solar Menjadi Emas

Solar bersubsidi seharusnya menjadi darah bagi masyarakat kecil: nelayan yang mengarungi laut, petani yang menghidupkan mesin air, sopir angkutan yang menempuh jalan berdebu. Namun di wilayah ini, solar justru jadi bahan bakar emas harfiah dan simbolik.

Dari SPBU PP, jeriken-jeriken itu diangkut menuju lembah pegunungan. Di sana, mesin disel dan alat berat bekerja sepanjang hari, menggerus sungai dan tanah demi kilauan logam kuning. Di balik bisingnya mesin tambang ilegal itu, solar subsidi terus terbakar, menyalakan aktivitas yang seharusnya sudah lama padam oleh hukum.

“Solar di SPBU cepat sekali habis. Nelayan, petani, bahkan angkutan umum sering tidak kebagian,” keluh warga lainnya.

Padahal, Pemerintah Aceh sudah mengeluarkan larangan keras terhadap kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) serta penggunaan alat berat di kawasan hutan. Tetapi di lapangan, perintah itu seperti angin yang lewat. Penambangan terus berlangsung, dan jeriken-jeriken itu tetap berangkat, melintasi jalanan berbatu menuju hulu-hulu sungai yang terluka.

Hukum yang Tersendat di Tengah Jalan

Bagi warga, yang paling menyakitkan bukan sekadar hilangnya solar atau rusaknya alam, tetapi tumpulnya keadilan.

“Polisi memang sudah tegas menindak pelaku PETI, terapi jangan hanya sopir atau pekerja yang ditangkap. Pemilik SPBU dan pemodal tambang juga harus diproses,” ujar seorang warga Pidie.

Sumber internal yang mengetahui jalannya praktik ini menyebut, permainan solar dan tambang ilegal di Pidie bukan cerita baru. Ia sudah berjalan bertahun-tahun, diwariskan dari tangan ke tangan, seolah menjadi bagian dari “ekonomi bayangan” di daerah pegunungan.

“Selama ini polisi hanya menangkap sopir. Tetapi pemilik SPBU dan pemodal tambang tidak pernah disentuh,” katanya. “Seolah ada permainan di balik kasus ini.” ujar warga lagi.

Masyarakat menilai, hukum di Pidie seperti mobil mogok di tanjakan, berusaha naik, tetapi selalu tersendat di tengah jalan. Mereka mendesak agar penegakan hukum kali ini tidak lagi berhenti di lapisan bawah rantai pelaku.

Janji dan Harapan dari Penegak Hukum

Dikonfirmasi terpisah, Kasat Reskrim Polres Pidie, AKP Dedy Miswar, Seng n (27/10) menegaskan bahwa pihaknya telah mengambil langkah preventif.

“Kami sudah memasang spanduk di SPBU-SPBU dan menyurati pemilik agar menjual BBM sesuai prosedur,” ujarnya.

Namun bagi sebagian warga, tindakan administratif itu belum cukup. Mereka menginginkan tindakan nyata penyelidikan yang berani menembus batas, bukan hanya menegur dari jauh. Sebab di mata rakyat, keadilan yang setengah hati sama berbahayanya dengan pelanggaran yang dibiarkan.

Solar yang Bocor, Keadilan yang Tumpah

Di Pidie, solar bersubsidi kini punya dua wajah, satu dijual dengan harga murah untuk rakyat kecil, satu lagi mengalir diam-diam menuju tambang emas ilegal. Di antara keduanya, ada jurang ketimpangan yang makin lebar, menguap bersama kabut pagi dan aroma minyak.

Dan di antara jeriken-jeriken itu, tersisa satu pertanyaan yang menggantung di udara: sampai kapan keadilan di Aceh harus menunggu Subuh yang benar-benar terang?

Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |