Banjir Bandang, Kayu Gelondongan Dan Negara Yang Gelagapan

1 day ago 5
Opini

15 Desember 202515 Desember 2025

Banjir Bandang, Kayu Gelondongan Dan Negara Yang Gelagapan

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Oleh Dr. Andree Armilis, MA

“Bencana Sumatera 2025 memperlihatkan bahwa krisis lingkungan dan krisis kepemimpinan berjalan beriringan.”

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Bencana banjir dan longsor di Sumatera yang menewaskan lebih dari seribu orang tidak dapat dipahami semata sebagai peristiwa alam. Skala korban, sebaran wilayah terdampak lintas provinsi, serta kerusakan infrastruktur vital menunjukkan bahwa yang sedang terjadi adalah krisis sosial-ekologis, bukan insiden lokal atau musiman.

Salah satu indikator paling konkret dari krisis tersebut adalah banyaknya kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir. Fenomena ini bukan detail visual semata, melainkan bukti empiris bahwa pengrusakan hutan masih berlangsung secara massif. Kayu gelondongan tidak muncul dari hutan yang dikelola secara lestari. Ia adalah hasil dari penebangan yang mengabaikan daya dukung lingkungan dan fungsi ekologis hutan sebagai penahan air dan penstabil tanah. Dalam perspektif sosiologi lingkungan, ini menunjukkan kegagalan pengendalian negara atas eksploitasi sumber daya alam.

Masalah berikutnya terletak pada respon negara yang lambat dan tidak terkoordinasi. Dua minggu setelah bencana, masih terdapat wilayah yang belum tersentuh bantuan secara memadai. Dalam manajemen bencana, fase tanggap darurat seharusnya ditandai oleh kecepatan distribusi logistik, kejelasan komando, dan integrasi lintas lembaga. Keterlambatan yang terjadi mengindikasikan lemahnya kesiapsiagaan, minimnya skenario kontinjensi, serta ketergantungan berlebihan pada prosedur administratif di tengah situasi darurat.

Situasi ini diperburuk oleh ketidaksiapan sebagian pemerintah daerah. Alih-alih bertindak sebagai pusat koordinasi dan pengambilan keputusan cepat, sejumlah pejabat daerah justru menunjukkan gejala penghindaran tanggung jawab, saling melempar kesalahan, atau lebih menonjolkan pencitraan di ruang publik. Dalam beberapa kasus, muncul penyampaian informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Dari sudut pandang kebijakan publik, informasi keliru dalam situasi bencana bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan faktor yang secara langsung menghambat efektivitas penanganan dan memperbesar risiko korban lanjutan.

Aspek lain yang patut dikritisi secara serius adalah keragu-raguan pemerintah pusat dalam menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Padahal indikator objektif telah terpenuhi: jumlah korban jiwa sangat besar, wilayah terdampak luas dan lintas provinsi, kapasitas pemerintah daerah terbukti terbatas, serta dampak terhadap infrastruktur publik bersifat sistemik. Ketidakjelasan status ini berdampak strategis karena berimplikasi pada mobilisasi sumber daya nasional, fleksibilitas anggaran, dan kecepatan pengambilan keputusan lintas sektor.

Dalam konteks politik dan kepercayaan publik, kondisi tersebut membuka ruang bagi menebalnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketidakpercayaan tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan terakumulasi melalui pengalaman konkret masyarakat: bantuan yang terlambat, informasi yang tidak konsisten, dan kesan negara yang gelagapan menghadapi krisis besar. Ketika masyarakat melihat bahwa kayu hasil perusakan hutan dapat bergerak lebih cepat daripada sistem bantuan negara, maka yang runtuh bukan hanya kepercayaan, tetapi juga legitimasi kebijakan.

Dari perspektif stratejik, bencana ini menunjukkan tiga kegagalan utama. Pertama, kegagalan pencegahan struktural, terutama dalam pengendalian deforestasi dan tata ruang. Kedua, kegagalan respon cepat, yang mencerminkan lemahnya sistem komando dan koordinasi darurat. Ketiga, kegagalan komunikasi publik, yang ditandai oleh ketidaksinkronan informasi antara pusat dan daerah.

Jika pola ini tidak segera dibenahi, bencana serupa akan terus berulang dengan skala kerusakan yang semakin besar. Lebih jauh, negara akan menghadapi risiko yang tidak kalah serius: erosi kepercayaan publik. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan melemahkan kepatuhan sosial, efektivitas kebijakan, dan kemampuan negara memobilisasi masyarakat dalam situasi krisis.

Banjir di Sumatera seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap relasi negara dengan lingkungan, kapasitas tata kelola kebencanaan, dan kualitas kepemimpinan publik. Tanpa perbaikan serius pada aspek-aspek tersebut, negara akan terus hadir setelah bencana, tetapi gagal mencegah dan tetap gelagapan dalam menanggulanginya.

Penulis adalah Sosiolog dan Analis Stratejik

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |