Oleh Shohibul Anshor Siregar
Krisis di Filipina menjadi peringatan bagi Indonesia: demokrasi tidaklah otomatis lestari. Meski Indonesia belum mencapai titik nadir seperti ancaman pembunuhan antarpejabat, dinamika dinasti politik, populisme, dan pelemahan lembaga demokrasi merupakan tantangan nyata
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Filipina. Negara dengan sejarah rumit pemerintahan otoriter dan transisi demokrasi. Kini benar-benar menghadapi krisis konstitusional yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jabatan-jabatan tertinggi pemerintahan terlibat dalam ancaman kekerasan publik.
Artikel ini mengkaji eskalasi permusuhan antara Presiden Ferdinand Marcos Jr. dan Wakil Presiden Sara Duterte, mengontekstualisasikan konflik mereka dalam kerangka yang lebih luas dari kemunduran demokrasi, dinasti politik, dan tata resep kelola populis.
Dengan menganalisis konsekuensi hukum, politik, dan kelembagaan dari krisis ini, artikel ini berpendapat bahwa lembaga-lembaga demokrasi Filipina telah dilemahkan secara sistematis oleh konsentrasi kekuasaan dalam jaringan keluarga dan erosi pengawasan dan keseimbangan.
Implikasinya untuk proses pemilihan umum, tata kelola, dan reformasi kelembagaan pada masa mendatang penting dijadikan sebagai titik tolak penilaian kritis untuk mengusulkan jalur-jalur pemulihan integritas demokrasi.
Sejak transisinya menuju demokrasi pada tahun 1986 menyusul penggulingan Ferdinand Marcos Sr., pada dasarnya telah memenuhi lembaran sejarahnya dengan catatan penting yang menunjukkan bahwa mereka telah berjuang untuk mengonsolidasikan pemerintahan demokrasi yang stabil.
Namun, berbagai peristiwa terkini telah mengungkap kerentanan yang begitu rumit dan berat dalam sistem politiknya. Pada akhir tahun 2024, ketegangan publik antara Presiden Ferdinand Marcos Jr. dan Wakil Presiden Sara Duterte meningkat menjadi ancaman pembunuhan terbuka, yang menandai titik nadir dalam lintasan demokrasi negara ini.
Krisis ini menggarisbawahi efek destabilisasi dari dinasti politik dan retorika populis, yang telah merusak legitimasi kelembagaan dan menormalkan perilaku ekstra-konstitusional di antara para pemimpin terpilih. Apa penyebab, bagaimana manifestasi, dan apa saja konsekuensi dari konflik ini, dan menempatkannya dalam wacana teoritis tentang erosi demokrasi dan menawarkan wawasan tentang masa depan demokrasi Filipina yang genting, dijanjikan penjelasannya oleh artikel ini.
Kemunduran Demokrasi & Politik Dinasti
Kemunduran demokrasi, sebuah proses yang ditandai dengan degradasi bertahap norma dan lembaga demokrasi, memberikan sudut pandang kritis untuk menganalisis kasus Filipina dan negara-negara yang setara, termasuk di kawasan Asia.
Para akademisi seperti Levitsky dan Ziblatt (2018) mengidentifikasi indikator utama kemunduran, termasuk politisasi lembaga independen, penindasan perbedaan pendapat, dan konsolidasi kekuasaan eksekutif. Di Filipina, tren ini diperburuk oleh menguatnya dinasti politik, kompleksitas jaringan keluarga yang memonopoli jabatan elektoral dan sumber daya publik. Keluarga Marcos dan Duterte adalah contoh fenomena ini, memanfaatkan daya tarik populis untuk menghindari kendala kelembagaan dan mengabadikan dominasi mereka.
Populisme, sebagai strategi politik, semakin memperparah erosi demokrasi dengan memprioritaskan otoritas karismatik atas legitimasi prosedural. Pembingkaian retoris lawan politik sebagai ancaman eksistensial, sebuah taktik sederhana yang digunakan oleh Marcos dan Duterte, mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan melegitimasi praktik otoriter. Konteks teoritis ini menyoroti kerentanan struktural yang memungkinkan terjadinya krisis saat ini.
Kerapuhan Demokrasi
Revolusi Kekuatan Rakyat 1986, yang menggulingkan Marcos senior, digembar-gemborkan sebagai kemenangan mobilisasi demokrasi. Namun, era pasca-otoriter gagal membongkar struktur oligarki yang menopang rezim Marcos Sr. Pemerintahan berikutnya, termasuk pemerintahan Corazon Aquino dan Benigno Aquino III, bergulat dengan korupsi endemik, sistem partai yang lemah, dan pemerintahan dinasti yang terus berlanjut.
Masa kepresidenan Rodrigo Duterte (2016–2022) menandai titik balik, karena kampanye antinarkoba yang keras dan sikapnya yang menentang lembaga-lembaga demokrasi menuai dukungan domestik meski menuai rangkaian kecaman internasional yang serius. Naiknya putrinya, Sara Duterte, ke kursi wakil presiden pada tahun 2022, bersamaan dengan kemenangan elektoral Ferdinand Marcos Jr., menandakan kebangkitan kembali aliansi dinasti. Kemitraan awal mereka, yang dibingkai sebagai penyatuan mesin politik utara dan selatan, dengan cepat terurai di tengah ambisi yang bersaing dan pertikaian kebijakan.
Pecahnya Aliansi Marcos-Duterte
Koalisi elektoral 2022 antara Marcos Jr. dan Sara Duterte mencatatkan manuver strategis untuk mengonsolidasikan kekuasaan di seluruh wilayah geografis dan ideologis. Marcos Jr., pewaris keluarga yang identik dengan ekses otoriter, merehabilitasi citranya melalui kampanye yang menekankan pemerintahan teknokratis. Duterte, yang memanfaatkan basis populis ayahnya, menarik perhatian para pemilih yang kecewa dengan elite politik Manila.
Namun, pada pertengahan 2024, muncul keretakan terkait alokasi anggaran, penunjukan birokrasi, dan strategi penegakan hukum. Kritik publik wakil presiden terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan memuncak dalam pidatonya pada November 2024 di Kota Davao. Dengan tanpa berbasa-basi ia memperingatkan, “Jika saya terbunuh, Presiden tidak akan selamat.”.
Ancaman eksplisit ini, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam wacana politik Filipina, mengungkapkan kerapuhan aliansi mereka dan personalisasi kekuasaan negara. Pernyataan wakil presiden tersebut memicu dampak hukum langsung. Berdasarkan Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Direvisi, ancaman terhadap kepala negara tak sekadar penghasutan, yang dapat dihukum dengan hukuman penjara.
Departemen Kehakiman memulai penyelidikan awal, sedangkan anggota parlemen oposisi menyerukan pemakzulan Duterte. Para pakar hukum negeri itu memperdebatkan apakah ancaman retoris dapat dimaknai sebagai pelanggaran yang dapat ditindak, terlepas dari konteks politik persaingan keluarga yang sudah berlangsung lama.
Secara politis, krisis tersebut telah memecah belah koalisi yang berkuasa. Sekutu tradisional keluarga Duterte di Kongres telah menjauhkan diri, sedangkan tanda-tanda kuat gubernur daerah yang sebelumnya bersekutu dengan Marcos telah menuntut jaminan stabilitas.
Jajak pendapat publik menunjukkan penurunan tajam dalam kepercayaan pada kedua pemimpin yang bertikai ini, dengan 62% responden dalam survei Desember 2024 menyatakan pesimisme tentang kemampuan pemerintah untuk berfungsi secara efektif.
Masa Depan Demokrasi Filipina
Jalan dan bahaya Pemilu paruh waktu 2025 dan pemilihan presiden 2028 akan menjadi ujian ketahanan demokrasi Filipina. Jika Duterte menghadapi diskualifikasi atau tuntutan pidana, para pendukungnya dapat memobilisasi protes, menggemakan gerakan massa tahun 1986 dan 2001. Sebaliknya, kegagalan untuk meminta pertanggungjawabannya berisiko memicu pelanggaran norma lebih lanjut.
Reformasi kelembagaan, seperti undang-undang anti-dinasti yang lebih ketat dan peningkatan independensi peradilan, sangat penting untuk mengekang kekuasaan eksekutif yang berlebihan. Konstitusi 1987, yang dirancang untuk mencegah kebangkitan watak pemerintahan otoriter, mungkin memerlukan amandemen untuk membatasi suksesi keluarga dalam jabatan dan memperkuat sistem daftar partai.
Organisasi masyarakat sipil, meskipun melemah di bawah kepresidenan Duterte, tetap penting dalam mengadvokasi transparansi dan akuntabilitas.
Kesimpulan
Konflik antara Marcos Jr. dan Sara Duterte bukan sekadar perseteruan pribadi, tetapi pastilah serpihan dari bongkahan besar gejala kemerosotan demokrasi sistemik. Ketergantungan Filipina pada politik dinasti dan mobilisasi populis telah menggerogoti institusi, sehingga rentan terhadap eksploitasi oleh elit yang ambisius.
Tanpa reformasi komprehensif untuk membongkar struktur oligarki dan memperkuat perlindungan konstitusional, negara tersebut berisiko mengalami kemunduran lebih lanjut ke dalam otoritarianisme. Komunitas internasional, yang berinvestasi dalam stabilitas regional, harus menyeimbangkan keterlibatan diplomatik dengan kritik berprinsip untuk mendukung masyarakat sipil Filipina di titik kritis ini.
Krisis ini menjadi kisah peringatan bagi demokrasi di seluruh dunia: ketika kekuasaan politik menjadi warisan keluarga alih-alih kepercayaan publik, fondasi pemerintahan akan runtuh. Jalan Filipina ke depan menuntut tidak hanya penolakan terhadap warisan otoriter tetapi juga pengembangan budaya politik yang berakar pada akuntabilitas, inklusivitas, dan supremasi hukum.
Krisis di Filipina menjadi peringatan bagi Indonesia: demokrasi tidaklah otomatis lestari. Meski Indonesia belum mencapai titik nadir seperti ancaman pembunuhan antarpejabat, dinamika dinasti politik, populisme, dan pelemahan lembaga demokrasi merupakan tantangan nyata. Untuk mempertahankan stabilitas, Indonesia harus belajar dari kesalahan Filipina dengan memperkuat checks and balances, memberdayakan masyarakat sipil, dan menegakkan prinsip meritokrasi dalam politik. Upaya ini tidak hanya menjamin kelangsungan demokrasi, tetapi juga mencegah Indonesia dari mengikuti jejak krisis konstitusional yang menghantui tetangganya di utara.
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.