Oleh Dr Ir Dandi Bachtiar, M.Sc
Negara-negara di dunia masih terjebak pada ego sektoral: antara kepentingan industri dalam negeri dan kepentingan global; antara keuntungan jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang. Dalam banyak forum, solidaritas iklim dibicarakan. Namun dalam praktik, solidaritas itu kalah oleh perlombaan investasi, pencitraan politik, atau ketakutan kehilangan suara pemilih. Padahal, bumi ini satu
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Dalam beberapa bulan terakhir, dunia internasional menyaksikan langkah kontroversial dari China—negara dengan emisi karbon terbesar di dunia—yang kembali membangun PLTU batu bara dalam skala besar. Sepanjang tahun 2024 saja, lebih dari 95 gigawatt proyek PLTU baru dikonfirmasi pemerintah China, menjadikannya sebagai salah satu ekspansi batu bara paling agresif dalam satu dekade terakhir.
Langkah ini memunculkan pertanyaan besar: ke mana arah komitmen iklim global, khususnya setelah Perjanjian Paris yang disepakati nyaris satu dekade lalu? Ketika para ilmuwan dunia bersuara lantang tentang kedaruratan iklim dan masyarakat sipil di banyak negara mendorong transisi energi bersih, keputusan China tampak seperti langkah mundur—bukan hanya secara lingkungan, tetapi juga secara moral dalam upaya kolektif menjaga keberlanjutan planet ini.
China beralasan bahwa langkah ini perlu dilakukan demi menjamin keamanan energi nasional, terutama menghadapi musim dingin ekstrem, meningkatnya permintaan listrik, dan ketidakpastian geopolitik global. Sebagian pihak menyatakan bahwa PLTU yang dibangun akan dilengkapi teknologi emisi rendah dan hanya berfungsi sebagai backup bagi sistem energi hijau.
Namun kita tahu, tidak ada batu bara yang benar-benar “bersih”. Sekalipun efisiensi ditingkatkan, pembakaran batu bara tetap menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah besar, serta polutan berbahaya lainnya. Dalam konteks saat ini, ketika suhu bumi telah meningkat mendekati 1,5°C dibandingkan era pra-industri, waktu kita semakin sempit. Komitmen “nanti” untuk net zero pada 2060 tidak lagi cukup, apalagi jika dibarengi dengan aksi yang justru memperburuk kondisi saat ini.
Kebijakan energi China juga tidak bisa dilepaskan dari konteks perang dagang dan rivalitas strategis dengan Amerika Serikat. Dalam ketegangan geopolitik yang makin tajam, banyak negara memilih memperkuat ketahanan dalam negeri, termasuk di sektor energi. Ketergantungan pada energi impor dianggap sebagai titik lemah, sehingga batu bara—yang tersedia melimpah di dalam negeri—kembali dianggap sebagai solusi pragmatis.
Namun inilah ironi zaman ini: saat dunia membutuhkan kerja sama global yang belum pernah terjadi sebelumnya, justru yang terjadi adalah meningkatnya semangat proteksionisme, nasionalisme, dan persaingan hegemonik. Perubahan iklim adalah krisis global yang tidak mengenal batas negara. Karbon tidak membawa paspor. Namun pendekatan kebijakan kita masih terfragmentasi dan sektoral.
China bukan satu-satunya. India masih mengandalkan batu bara untuk lebih dari 70 persen pembangkit listriknya. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab gencar mengembangkan energi terbarukan, namun tetap memperluas produksi dan ekspor minyak. Di Eropa dan Amerika Utara, meski ada upaya transisi energi yang serius, kepentingan industri dan politik domestik kerap menjadi ganjalan.
Indonesia sendiri, dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution), menargetkan net zero emission pada 2060. Namun di sisi lain, proyek PLTU baru masih berjalan di beberapa daerah, termasuk yang didanai lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Transisi energi yang terjadi masih bersifat elitis dan belum menyentuh lapisan masyarakat bawah secara sistemik.
Laporan dari UNEP (United Nations Environment Programme) tahun 2023 memperingatkan bahwa jika semua negara hanya melaksanakan komitmen iklim mereka saat ini tanpa peningkatan ambisi, maka suhu bumi akan naik hingga 2,4–2,7°C pada akhir abad ini. Artinya, kita belum on track. Lebih dari itu, kita sedang melaju di jalur yang membahayakan masa depan umat manusia.
Persoalan iklim kini bukan lagi sekadar soal teknologi atau sains. Kita telah memiliki cukup pengetahuan dan teknologi untuk mengurangi emisi. Energi surya, angin, hidrogen, dan penyimpanan energi terus mengalami kemajuan. Hambatan utamanya justru adalah politik dan moralitas.
Negara-negara di dunia masih terjebak pada ego sektoral: antara kepentingan industri dalam negeri dan kepentingan global; antara keuntungan jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang. Dalam banyak forum, solidaritas iklim dibicarakan. Namun dalam praktik, solidaritas itu kalah oleh perlombaan investasi, pencitraan politik, atau ketakutan kehilangan suara pemilih.
Padahal, bumi ini satu. Krisis iklim adalah masalah bersama umat manusia. Tidak ada satu negara pun yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri jika ekosistem global kolaps. Tidak ada “tembok tinggi” yang cukup kuat menahan gelombang panas, kekeringan ekstrem, atau krisis pangan lintas benua. Kita semua berada di perahu yang sama, hanya saja duduk di tempat yang berbeda.
Lalu apa yang bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan ini? Pertama, Perjanjian Paris perlu diperkuat secara politik dan moral. Dunia harus bergerak dari kesepakatan sukarela ke arah komitmen yang mengikat secara internasional, dengan mekanisme pemantauan yang jelas dan sanksi moral maupun ekonomi bagi negara yang mengingkarinya.
Kedua, perlu dibentuk mekanisme keadilan iklim global yang menjamin dukungan finansial dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Ini bukan soal kebaikan hati, melainkan tanggung jawab sejarah atas emisi masa lalu.
Ketiga, negara dan lembaga keuangan internasional harus menekan ekonomi batu bara melalui pajak karbon, divestasi dari energi fosil, dan insentif besar untuk energi hijau. Keempat, literasi iklim harus dimasukkan dalam pendidikan dan ruang publik. Hanya dengan warga dunia yang sadar, kita bisa menciptakan tekanan sosial dan politik yang cukup kuat untuk memaksa perubahan.
Kelima, negara-negara berkembang perlu membentuk koalisi Selatan-Selatan untuk transisi energi yang tidak bergantung pada dikte kekuatan besar. Kita bisa berbagi solusi, teknologi, dan pembiayaan untuk saling mempercepat perubahan.
Semua ini mungkin terdengar ideal, tapi dalam sejarah umat manusia, perubahan besar selalu dimulai dari keberanian bermimpi dan konsistensi menyuarakan kebenaran. Kita hanya punya satu bumi. Dan satu kesempatan.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.